SULING EMAS : JILID-02
Han Bian Ki merasa heran. Cepat ia mengirim pukulan bertubi-tubi dengan
ke dua tangannya dengan maksud agar si nona suka menangkis. Andai kata
ia tidak dapat menangkan nona ini, sedikitnya ia harus dapat merasakan
kehalusan dan kehangatan lengan Si Gadis ketika menangkis
pukulan-pukulannya! Sambil memukul bertubi-tubi ia mendesak dengan
langkah-langkah cepat. Kali ini dia harus menangkis, pikirnya, kalau
tidak tentu akan terdesak ke pinggir panggung.
Akan tetapi benar-benar Lu Sian tidak mau menangkis. Pukulan-pukulan
keras yang mengeluarkan angin itu ia hindarkan dengan gerakan-gerakan
pinggangnya, ke kanan kiri dan terpaksa ke dua kakinya melangkah mundur
karena Si Pemuda terus mendesaknya. Benar seperti dugaan Han Bian Ki,
akhirnya Lu Sian terdesak sampai ke pinggir panggung dan mundur tiga
langkah lagi tentu akan terjengkang. Pemuda ini sudah menjadi girang.
Sekali Si Gadis terjengkang ke bawah panggung, berarti ia menang! Cepat
ia memperhebat pukulan-pukulannya sambil mengeluarkan seruan panjang.
Tiba-tiba gadis itu tertawa dan Han Bian Ki kebingungan karena ia tidak melihat gadis itu lagi. Tadi ia hanya melihat bayangan orang berkelebat dan bau harum menusuk hidung, membuat hatinya terguncang. Memang semenjak naik ke panggung ia mencium bau harum keluar dari arah gadis itu. Akan tetapi ketika melihat bayangan orang berkelebat, bau harum itu makin keras tercium dan sekarang tiba-tiba Lu Sian lenyap. Apakah sudah terjengkang ke bawah? Ia melangkah maju dan menjenguk ke bawah, akan tetapi tidak tampak apa-apa. Ketika ia mendengar gelak tawa para tamu, cepat-cepat ia membalikkan tubuh dan terlihat olehnya sang dara jelita sedang tersenyum mengejek!
Seorang yang rendah hati dan tahu diri tentu saja sadar bahwa ia kalah jauh dari gadis itu, akan tetapi Han Bian Ki yang tinggi hati tidak merasa demikian. Malah sebaliknya ia merasa penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang maju dengan serangan lebih hebat, kini malah menyelingi pukulan tangannya dengan tendangan kilat!
Lu Sian tertawa dan tubuhnya melejit-lejit seperti ikan di darat, berputar-putar seperti gasing namun semua pukulan dan tendangan lawan mengenai angin belaka. Seperti tadi, tiba-tiba gadis itu lenyap dengan cara melompati atas kepala lawannya yang kembali menjadi kebingungan. Watak Liu Lu Sian adalah manja dan gadis ini pun memiliki kesombongan, suka memandang rendah orang lain. Apalagi pemuda itu yang terang kalah jauh olehnya, segera menimbulkan rasa angkuh dan sombong dalam hatinya.
Setelah melompati kepala lawannya, gadis ini hinggap dan berdiri di tengah panggung. Sambil menanti lawannya yang kebingungan mencari-carinya, ia berkata, "Uhh, begini saja pemuda yang hendak mencoba kepandaianku? Kalau masih ada yang seperti dia, harap maju saja sekalian! Jangan kuatir, aku takkan tuduh kalian mengeroyok. Yang menang di antara kalian tetap dianggap menang. Hayo maju, agar aku tidak lelah, melayani kalian!"
Dua orang pemuda menyambut seruan Liu Lu Sian ini. Mereka ini adalah seorang pemuda yang tinggi besar dan berwajah buruk, seorang lagi adalah pemuda kurus kering, berwajah kekuningan seperti orang berpenyakitan. Dari dua jurusan mereka melompat ke atas panggung. Agaknya mereka ini menganggap bahwa sekarang terbuka kesempatan bagus bagi mereka untuk mencapai kemenangan!
"Saya Bhong Siat dari lembah Yang-ce!" kata Si Muka Kuning yang suaranya seperti orang berbisik atau kehabisan napas.
Makin muak rasa perut Liu Lu Sian menyaksikan majunya dua orang yang berwajah buruk ini. Memang ia sengaja menantang agar mereka maju sekaligus agar ia tidak usah berkali-kali menghadapi mereka seorang demi seorang. Pula, tantangannya ini merupakan akal untuk menilai mereka. Yang mau datang mengeroyoknya manandakan seorang laki-laki pengecut dan yang tidak boleh dihargai sama sekali, perlu cepat ditundukkan sekaligus.
Han Bian Ki girang melihat majunya dua orang yang semaksud itu. Kini terbuka kesempatan pula baginya untuk mencari kemenangan, atau setidaknya tentu berhasil menyentuh kulit badan Si Nona atau beradu lengan. Maka ia tidak mau kalah semangat dan biar pun sudah sejak tadi ia dipermainkan, kini ia memperlihatkan sikap galak dan menerjang Liu Lu Sian dengan seruan nyaring.
Dua orang yang baru naik itu pun tidak membuang kesempatan ini, membarengi dengan serangan-serangan mereka karena mereka tahu bahwa serangan tiga orang secara berbarengan tentu akan lebih banyak memungkinkan hasil baik.
"Menjemukan...!" Liu Lu Sian berseru dan terjadilah penglihatan yang amat menarik.
Tiga orang pemuda itu menyerang dari tiga jurusan. Serangan mereka galak dan ganas, apalagi Si Muka Kuning Bhong Siat yang ternyata merupakan seorang ahli ilmu silat yang mempergunakan tenaga dalam. Pukulan-pukulannya mendatangkan angin yang bersiutan. Namun hebatnya, tak pernah enam buah tangan dan enam buah kaki itu menyentuh ujung baju Lu Sian.
Gadis itu dalam pandangan tiga orang pengeroyoknya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan seperti sambaran burung walet yang amat lincah. Dan dalam pertandingan kurang dari dua puluh jurus, terdengar teriakan-teriakan dan secara susul-menyusul tubuh tiga orang pemuda itu ‘terbang’ dari atas panggung, terlempar secara yang mereka sendiri tidak tahu bagaimana. Mereka jatuh tunggang-langgang dan berusaha untuk merangkak bangun.
"Hemm, orang-orang tak tahu malu. Hayo lekas pergi dari sini!" terdengar suara keras membentak di belakang mereka dan sebuah lengan yang kuat sekali memegang tengkuk mereka dan tahu-tahu tubuh mereka seorang demi seorang terlempar ke luar. Tanpa berani menoleh lagi kepada Ma Thai Kun yang melemparkan mereka ke luar, tiga orang itu terus saja lari sempoyongan keluar dari halaman gedung.
Para tamu menyambut kemenangan Liu Lu Sian dengan tepuk tangan riuh rendah. Para muda yang tadinya ada niat untuk mencoba-coba, makin kuncup hatinya dan hampir semua membatalkan niat hatinya, menghibur hati yang patah dengan kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat menandingi nona yang amat lihai itu!
Akan tetapi ternyata masih seeorang laki-laki muda yang dengan langkah tegap dan tenang menghampiri panggung, kemudian dengan gerakan lambat melompat naik. Ketika kedua buah kakinya menginjak panggung, Lu Sian merasa tergetar kedua telapak kakinya, tanda bahwa yang datang ini memiliki lweekang yang cukup hebat. Ia menjadi tertarik, akan tetapi ketika mengangkat muka memandang, ia merasa kecewa.
Laki-laki ini sikapnya gagah dan pakaiannya sederhana. Mukanya membayangkan kerendahan hati dan kejujuran, namun sama sekali tidak tampan. Matanya lebar dan alisnya bersambung, sedangkan hidungnya terlalu pesek!
"Saya yang bodoh Lie Kung dari pegunungan Tai-liang. Sebetulnya saya tidak ada harga untuk memasuki sayembara, akan tetapi karena sudah sampai di sini dan saya amat tertarik dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat Nona, perkenankanlah saya memperlihatkan kebodohan sendiri." Kata-katanya merendah akan tetapi jujur dan sederhana.
Lu Sian tersenyum mengejek. "Siapa pun juga boleh saja mencoba kepandaian karena memang saat ini merupakan kesempatan. Nah, silakan saudara Lie maju!"
"Nona menjadi nona rumah dan seorang wanita, saya merasa sungkan untuk membuka serangan," jawab Lie Kung.
"Hemm, kalau begitu sambutlah ini!"
Secara tiba-tiba Liu Lu Sian menyerang, pukulannya amat cepat, gerakannya indah akan tetapi bersifat ganas karena pukulan itu mengarah bagian berbahaya di pusar, merupakan serangan maut! Lie Kung berseru keras dan kaget. Tak disangkanya nona yang demikian cantiknya begini ganas gerakannya. Maka cepat ia melompat mundur dan mengibaskan tangan, lalu menangkis dengan kecepatan penuh.
Lu Sian tidak sudi beradu lengan. Ia menarik kembali tangannya dan menyusul dengan pukulan tangan miring dari samping mengarah lambung. Sungguh merupakan terjangan maut yang amat berbahaya. Lie Kung ternyata gesit sekali karena dengan jungkir balik ia segera dapat menyelamatkan diri!
Tepuk tangan menyambut gerakan ini karena sekarang para tamu merasa mendapat suguhan yang menarik, tidak seperti tadi di mana tiga orang pemuda sama sekali tidak dapat mengimbangi permainan Liu Lu Sian yang gesit. Pemuda pesek ini benar-benar cepat gerakannya, walau pun tampaknya lambat dan tenang.
Setelah diserang selama lima jurus dengan hanya mengelak, mulailah Liu Lu Sian mengembangkan gerakannya untuk balas menyerang. Telah ia duga bahwa pemuda ini merupakan seorang ahli lweekang, dan ternyata benar. Pukulan pemuda ini berat dan antep, hanya sayangnya pemuda ini berlaku sungkan-sungkan, buktinya yang diserang hanya bagian-bagian yang tidak berbahaya.
Marahlah Lu Sian. Sikap pemuda yang hanya mengarahkan serangan pada pundak, pangkal lengan dan bagian-bagian lain yang tidak berbahaya itu, baginya diterima salah. Dianggap bahwa pemuda ini terlampau memandang rendah padanya, seakan-akan sudah merasa pasti akan menang sehingga tidak mau membuat serangannya berbahaya.
Setelah lewat tiga puluh jurus mereka serang-menyerang, tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi yang mengejutkan semua orang. Gerakannya tiba-tiba berubah lambat dan aneh, pukulannya merupakan gerakan yang melingkar-lingkar.
"Bagaimana kau lihat pemuda itu?" Pat-jiu Sin-ong bertanya ketika ia melihat Kwee Seng menoleh dan menonton pertandingan, tidak seperti tadi ketika tiga orang pemuda mengeroyok Lu Sian.
Kwee Seng memandang acuh tak acuh. "Lumayan juga. Bakatnya baik dan kalau ia tidak terlalu banyak kehendak, ia dapat menjadi ahli lweekeh yang tangguh."
"Ha-ha, kau lihat. Puteriku sudah mulai mainkan Sin-coa-kun ciptaanku yang terakhir. Pemuda itu takkan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus!"
Diam-diam Kwee Seng memperhatikan. Ilmu silat Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) memang hebat, mengandung gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang disembunyikan dalam gaya kedua tangan yang gerakannya seperti ular menggeliat-geliat dan melingkar-lingkar. Namun dalam ilmu silat ini terkandung sifat yang amat ganas, dan kembali sepasang alis pemuda ini berkerut saking kecewa. Sungguh sayang sekali, kecantikan seperti bidadari itu, dirusak sifat-sifat liar dan ganas, diisi ilmu yang amat keji.
Untuk mengusir kekecewaan yang menggeregoti hatinya, pemuda ini menuangkan arak sepenuhnya dan mengangkat cawan. "Minum biar puas!" lalu sekali tenggak habislah arak itu.
Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak dan minum araknya pula.
Ramalan Pat-jiu Sin-ong ternyata terbukti. Tepat sepuluh jurus setelah pemuda she Lie itu terdesak dan bingung menghadapi dua lengan halus yang seperti sepasang ular mengamuk, lehernya kena dihantam tangan miring. Ia mengaduh dan terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi tepat pada saat lehernya dihantam, ia dapat mengibaskan tangannya hingga mengenai lengan Lu Sian.
“Plakk!” gadis itu menyeringai kesakitan, lengannya terasa panas sekali.
Biar pun ia sudah tahu bahwa pukulannya mengenai leher lawan dengan tepat, karena lengannya tertangkis tadi, Lu Sian menjadi marah dan cepat ia maju lagi mengirim pukulan yang agaknya akan menamatkan riwayat pemuda itu.
"Cukup...!!" tiba-tiba sesosok bayangan meloncat ke atas panggung dan dengan cepat menangkis tangan Lu Sian yang mengirim pukulan maut.
"Dukkk!" dua buah lengan tangan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang sampai tiga langkah.
Dengan kemarahan meluap-luap Lu Sian memandang orang yang begitu lancang berani menangkis pukulannya tadi. Ia membelalakkan matanya dan... tiba-tiba ia merasa seakan-akan jantungnya diguncang keras, kemarahannya lenyap dan ia terpesona. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang pemuda yang begini ganteng!
Rambutnya hitam tebal diikatkan ke atas dengan sehelai sutera kuning. Pakaiannya indah dan ringkas, membayangkan tubuhnya yang tegap berisi, dadanya yang bidang. Alisnya berbentuk golok, hitam seperti dicat, hidung mancung, mulut berbentuk bagus membayangkan watak gagah dan hati keras. Pendeknya, wajah dan bentuk badan seorang jantan yang tentu akan meruntuhkan hati setiap orang gadis remaja!
Seketika Lu Sian jatuh hatinya, akan tetapi mengingat perbuatan lancang pemuda ini, untuk menjaga harga dirinya, ia menegur juga, hanya tegurannya tidak seketus yang dikehendakinya. "Kau siapa, berani lancang turun tangan mencampuri pertandingan?"
Pemuda itu menuntun Lie Kung sampai ke pinggir panggung, menyuruhnya mengundurkan diri. Lie Kung menjura ke arah Liu Lu Sian lalu melompat turun, terus pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah itu baru pemuda yang membawa sebuah golok disarungkan dan digantungkan pada pinggangnya itu membalikkan tubuh menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata. "Maaf, Nona. Memang saya tadi berlaku lancang. Akan tetapi sekali-kali bukan dengan maksud hati yang buruk, hanya untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Sudah terlalu banyak jiwa melayang.... Ah, sayang sekali. Kunasehatkan kepadamu, Nona. Hentikan cara pemilihan suami seperti ini. Tiada guna! Dan kasihan kepada yang tidak mampu menandingimu. Nah, sekali lagi maafkan kelancanganku tadi!" Ia menjura dan hendak pergi.
"Eh orang lancang! Bagaimana kau bisa pergi begitu saja setelah menghinaku? Hayo maju kalau kau memang berkepandaian!" Lu Sian sengaja menantang karena hatinya sudah jatuh dan ingin ia menguji kepandaian laki-laki yang menarik hatinya ini. Kalau memang benar seperti dugaannya, bahwa laki-laki ini memiliki kepandaian tinggi seperti terbukti ketika menangkisnya tadi, ia akan merasa puas mendapat jodoh setampan dan segagah ini.
Kwee Seng memang tampan pula, tetapi terlalu tampan seperti perempuan, kalah gagah oleh pemuda ini. Dan biar pun ia tahu ilmu kepandaian Kwee Seng mungkin hebat, akan tetapi sikap pemuda itu terlalu halus, terlalu lemah lembut, kurang ‘jantan’!
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, kembali menjura kepada Lu Sian sambil berkata dengan suara perlahan. "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang... akan tetapi... bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona. Biarlah aku mengaku kalah terhadapmu!" Sambil melempar pandang tajam yang menusuk hati Lu Sian, pemuda itu hendak mengundurkan diri.
"Apakah engkau begitu pengecut, berani berlaku lancang tidak berani memperkenalkan diri? Siapakah kau yang sudah berani... menghinaku?”
Dimaki pengecut, pemuda itu menjadi merah mukanya. "Aku bukan pengecut! Kalau Nona ingin benar tahu, namaku adalah Kam Si Ek dari Shan-si." Setelah berkata demikian, pemuda gagah bernama Kam Si Ek itu lalu meloncat turun dari panggung dan cepat-cepat lari ke luar dari halaman gedung.
Sampai beberapa saat lamanya Liu Lu Sian berdiri bengong di atas panggung, merasa betapa semangatnya seakan-akan melayang-layang mengikuti kepergian pemuda ganteng itu.
"Pat-jiu Sin-ong, kau baru saja kehilangan seorang calon mantu yang hebat!" Kwee Seng berkata sambil menyambar daging panggang dengan sumpitnya.
"Kau maksudkan bocah ganteng tadi? Siapakah dia? Namanya tidak pernah kudengar," jawab Pat-jiu Sin-ong.
"Ha-ha-ha! Kam Si Ek adalah panglima muda di Shan-si dan hanya karena adanya pemuda itulah maka Shan-si terkenal sebagai daerah yang amat kuat dan membuat gubernurnya yang bernama Li Ko Yung terkenal. Cocok sekali dia dengan puterimu. Puterimu menjadi perebutan pemuda-pemuda, sebaliknya entah berapa banyaknya gadis di dunia ini yang ingin menjadi istrinya! Ha-ha-ha!" Terang bahwa Kwee Seng sudah mulai terpengaruh arak.
Memang sebetulnyalah kalau pemuda itu tadi mengatakan bahwa dia tidak bisa minum arak banyak-banyak. Akan tetapi karena kerusakan hatinya menghadapi cinta terhadap Liu Lu Sian berbareng kecewa, ia sengaja nekat minum terus tanpa ditakar lagi.
"Huh, apa artinya panglima bagiku? Dia memang tampan. Akan tetapi kalau disuruh memilih, aku memilih kau, Kwee Seng!"
Liu Lu Sian tersentak kaget dan membalikkan tubuh, masih berdiri di tengah panggung. Juga para tamu mendengar percakapan yang dilakukan dengan suara keras itu. Kini mereka memandang ke arah dua orang itu, terutama sekali Kwee Seng yang menjadi pusat perhatian.
Pemuda ini sudah bangkit berdiri, cawan arak di tangan kanannya. Hatinya berguncang keras ketika ia mendengar ucapan ketua Beng-kauw itu. Betapa tidak? Jelas bahwa Ketua Beng-kauw ini agaknya suka memilih dia sebagai mantu. Dan dia sendiri pun sudah jelas mencintai gadis jelita itu, hal ini tidak dapat ia bantah, seluruh isi hati dan tubuhnya mengakui.
Mau apa lagi? Tinggal mengalahkan gadis itu, apa sukarnya? Akan tetapi di balik rasa cinta, di sudut kepalanya di mana kesadarannya berada, terdapat rasa tak senang yang menekan kembali rasa cinta kasihnya dengan bisikan-bisikan tentang kenyataan betapa keadaan gadis itu dan keluarganya sama sekali tidak cocok, bahkan berlawanan dengan pendirian dan wataknya. Ia jatuh cinta kepada seorang dara yang berwatak liar dan ganas, sombong dan tinggi hati, licik dan keji, gadis yang menjadi puteri tunggal Ketua Beng-kauw yang sakti, aneh dan sukar diketahui bagaimana wataknya. Gadis yang menjadi sebab kematian banyak pemuda yang tak berdosa!
Kesadarannya membisikkan bahwa betapa pun ia mencintai gadis itu, cintanya hanya karena pengaruh kejelitaan gadis itu dan kalau ia menuruti cintanya yang terdorong nafsu, kelak akan tersiksa hatinya. Akan tetapi perasaannya membantah. Kalau ia boleh membawa pergi gadis itu bersamanya, mungkin ia bisa membimbingnya menjadi seorang isteri yang baik dan cocok dengan sifat-sifat dan wataknya.
"Lo-enghiong, jangan main-main!"
"Ha-ha, siapa main-main? Kwee-hiantit hanya kaulah yang agaknya pantas bertanding dengan puteriku. Hayo kau kalahkan dia, kalau tidak, anakku itu akan makin besar kepala saja dan para tamu tentu akan mengira aku hendak menang sendiri! Ha-ha-ha!"
"Hemmm, puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, aku pun ingin sekali menguji kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo-enghiong, harap jangan salah sangka. Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi, perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu hati masing-masing. Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki sayembara pemilihan jodoh, hanya sekedar main-main menguji kepandaian belaka?" Ucapan ini dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.
Akan tetapi Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara keras pula. "Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti, kau memang seorang yang teliti dan cermat, terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar dan siapa melanggar harus didenda!"
Kwee Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya bagaimana?”
“Kau harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan untuk mengalahkan puteriku itu kepadanya."
"Aku tidak keberatan. Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."
"Boleh. Nah, orang muda, kau cobalah!"
Hati Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan antara ayahnya dan pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat Kwee Seng berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda seorang mabuk!
"Apakah Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran kepandaian?" Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata dingin. Ternyata gadis ini masih mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara diam-diam itu pemuda ini sudah menang setingkat dari padanya.
"Cuma kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari kemenangan dari seorang yang mabok!" dengan kata-kata ketus ini Liu Lu Sian hendak menebus rasa malunya tadi.
Kwee Seng tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang demikian eloknya. Mulut yang biar pun menghamburkan kata-kata pedas dan pahit, namun tetap manis didengar. Matanya yang agak mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu. Sejenak Kwee Seng terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak memandang ke arah mulut dara jelita di depannya. Ia hanya berdiri melamun....
Bibir merah basah menantang
Bentuk indah gendewa terpentang
Hangat lembut mulut juita
Sarang madu sari puspita
Senyum dikulum bibir gemetar
Tersingkap mutiara indah berjajar
Segar sedap lekuk di pipi
Mengawal suara merdu sang dewi!
"Heh, kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak, lenyap sikapnya yang menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.
Kwee Seng sadar dari lamunannya. "Eh..., ohh... Nona, kau tahu, aku sebetulnya tidak ingin memasuki sayembara... dan aku... aku lebih suka bertanding dengan si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia menoleh, matanya mencari-cari.
"Cukup! Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah mendengar bahwa kalau aku kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi jangan kira akan mudah mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan tahu-tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak di atas meja dan secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng.
Pemuda itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah mengejek dan setengah kagum. Begitu cepatnya gadis itu bergerak dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah.
Lu Sian merasakan ejekan ini. Dengan gemas ia berkata," Menghadapi seorang sakti seperti engkau ini, Kwee-kongcu, tidak bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi. Aku mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!" Sambil berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar berkelebat, putih menyilaukan mata.
"Lu Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu memberi hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee Seng dan sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.
"Wutttt!" Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat cepat.
"Hemm, aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari telunjuknya menotok ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya.
Akan tetapi secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya sehingga dalam dua gebrakan ini mereka berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya.
"Ji-sute, mundur kau!" kembali Liu Gan berseru keras, matanya melotot marah.
Ma Thai Kun tidak berani membantah perintah suheng-nya dan ia mundurkan diri dengan kemarahan di tahan-tahan.
“Orang She Kwee, kau terlalu sombong. Lihat pedangku!" bentak Liu Lu Sian sambil menggerakan pedangnya dengan cepat.
Pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang membuat lingkaran-lingkaran lebar, makin lama lingkaran itu makin lebar mengurung tubuh Kwee Seng. Namun pemuda ini hanya menggerakkan sedikit tubuhnya dan selalu ia terhindar dari kilat yang berpencaran ke luar dari sinar pedang itu.
"Lu Sian, jangan pandang ringan dia! Gunakan Toa-hong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Badai)!" seru Liu Gan dengan suara gembira, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
Begitu gebrakan pertama dan selanjutnya secara cepat berlangsung, Lu Sian sudah mengerti bahwa Kwee Seng ini benar-benar amat lihai. Pedangnya yang menyambar-nyambar seperti hujan cepatnya itu ternyata dapat dielakkan secara aneh dan sama sekali tidak tampak tergesa-gesa, seakan-akan semua gerakannya ini masih terlampau lambat bagi Kwee Seng.
Oleh karena ini, begitu mendengar seruan ayahnya, ia segera mengerahkan tenaga dan berlaku hati-hati. Cepat ia mainkan ilmu pedang ajaran ayahnya, yaitu Toa-hong Kiam-hoat. Gadis ini mengerti bahwa kali ini ia tidak saja harus menjaga harga dirinya, melainkan juga menjaga muka ayahnya.
Diam-diam Kwee Seng kaget dan kagum melihat perubahan ilmu pedang gadis itu yang kini menderu-deru seperti angin badai mengamuk. Tidak percuma ketua Beng-kauw mendapat julukan Pat-jiu Sin-ong, dan tidak percuma pula gadis itu menjadi puteri tunggalnya karena ilmu pedang ini amat cepat, hebat dan berbahaya sehingga tak mungkin dihadapi mengandalkan kecepatan belaka.
Pemuda sakti ini maklum pula bahwa Pt-jiu Sin-ong seorang yang amat licik dan aneh. Tentu sekarang Ketua Beng-kauw itu menyuruh anaknya mengeluarkan ilmu pedang simpanan agar terpaksa ia mengeluarkan ilmunya yang sejati pula untuk mengalahkan Lu Sian. Kwee Seng maklum pula bahwa janji untuk menurunkan ilmunya yang mengalahkan Lu Sian, adalah janji yang amat licik dari Pat-jiu Sin-ong, yang membayangkan sifat loba seorang ahli silat yang ingin sekali menguasai seluruh ilmu yang paling sakti di dunia ini.
Melalui puterinya, ketua Beng-kauw ini hendak memancing-mancing ilmu silatnya untuk menambah perbendaharaan ilmu Pat-jiu Sin-ong! Karena tidak ingin menggunakan ilmu simpanannya untuk mengalahkan Lu Sian agar ia tidak usah menurunkan ilmu itu pada gadis ini, kembali Kwee Seng mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi dari pada kepandaian gadis itu untuk melesat kesana kemari, menyelinap di antara sambaran pedang Lu Sian yang seperti badai mengamuk itu. Akan tetapi belum lima belas jurus Lu Sian mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kian, ayahnya sudah berseru lagi.
"Lu Sian, pergunakan Pat-mo Kiam-hoat!"
Ilmu pedang Pat-mo-kiam (Pedang Delapan Iblis) ini sengaja diciptakan oleh Pat-jiu Sin-ong untuk mengimbangi Ilmu Pedang Pat-sian-kiam (Pedang Delapan Dewa) yang pernah ia hadapi dahulu. Hebatnya bukan kepalang.
Lu Sian kembali menurut perintah ayahnya dan gerakan pedangnya berubah lagi. Kini pedangnya tidak mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mendasarkan serangan pada penggunaan tenaga sinkang (tenaga sakti). Setiap tusukan atau bacokan mengandung tenaga mukjijat sehingga anginnya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat.
Kembali Kwee Seng kaget dan kagum. Seperti juga sifat Pat-sian-kiam yang ia kenal, ilmu pedang ini rapi sekali, seakan-akan dimainkan oleh delapan orang, namun Pat-mo-kiam mengandung sifat yang lebih ganas dan keji. Mendadak ia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Biar pun Pat-mo-kiam diciptakan untuk menghadapi Pat-sian-kiam, namun ilmu silat hanya sekedar teori atau peraturan gerakan belaka, yang terpenting adalah orangnya. Karena tingkatnya lebih tinggi dari pada tingkat Lu Sian, maka ia merasa sanggup mengalahkan Pat-mo-kiam yang dimainkan gadis ini dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam.
Ia berseru keras dan tahu-tahu tangannya sudah mencabut ke luar sebuah kipas yang disembunyikan di dalam bajunya. Cepat ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian-kiam. Kipasnya mengeluarkan angin yang kuat sekali sehingga gulungan sinar pedang putih terdesak dan tiba-tiba Lu Sian berseru keras karena siku kanannya terkena totokan gagang kipas. Seketika tangannya kejang dan hampir saja ia melepaskan pedang, baiknya dengan gerakan yang cepat bukan main Kwee Seng sudah memulihkan totokan lagi sehingga gadis itu dapat menyambar pedangnya yang sudah terlepas tadi. Dasar gadis yang tak dapat menerima kekalahan, begitu pedangnya terpegang lagi ia terus menyerang dengan hebat!
"Aiihh...!" Kwee Seng berseru dan tubuhnya berkelebat.
Terpaksa ia mempergunakan ilmunya yang hebat, yaitu Pat-sian Kiam-hoat yang sudah ia gabung dengan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Kipasnya mengebut pedang lawan, dan selagi pedang itu miring letaknya, gagang kipasnya menotok dan... kini seluruh tubuh Lu Sian menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi! Kwee Seng cepat menempel pedang lawan dengan kipasnya, merampas pedang itu di antara kipas sambil jari tangan kirinya membebaskan totokan!
Lu Sian dapat bergerak lagi, akan tetapi pedangnya sudah terampas. Gadis itu marah bukan main, siap menerjang dengan tangan kosong berdasarkan kenekatan.
"Lu Sian, cukup! Haturkan terima kasih kepada calon suami atau gurumu! Ha-ha-ha!" teriak Pat-jiu Sin-ong sambil melompat ke atas panggung.
Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan Kwee Seng ini, sedangkan Lu Sian lari ke dalam tanpa menoleh lagi.
Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong berkata lantang kepada para tamunya. "Sahabat mudaku Kwee Seng telah menang mutlak atas puteriku dan dia berhak menjadi calon mantuku. Akan tetapi, karena dia pun seorang aneh, tidak kalah anehnya dengan aku sendiri, hanya dia yang dapat menentukan apakah perjodohan ini diteruskan atau tidak. Betapa pun juga, ia sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang tadi mengalahkan puteriku kepada Liu Lu Sian. Suami atau guru, apa bedanya? Ha-ha-ha-ha-ha!"
Orang tua itu menggandeng tangan Kwee Seng untuk di ajak minum sepuasnya. Sedangkan para tamu mulai menaruh perhatian dan mempercakapkan pemuda pelajar yang tampaknya lemah-lembut itu. Beberapa orang tokoh tua segera mengenal Kwee Seng sebagai Kim-mo-eng dan mulai saat itu, terkenallah nama Kim-mo-eng Kwee Seng.
Tiga hari kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan menunggang dua ekor kuda keluar dari kota raja Kerajaan Nan-cao. Seperti telah ia janjikan, setelah memenangkan pertandingan ia akan mengajarkan ilmu kepada Lu Sian dan gadis itu harus menyertai peraturannya sampai menerima pelajaran itu.
Pat-jiu Sin-ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut seguci arak kepada Kwee Seng karena selama tiga hari di tempat itu, pemuda ini siang malam hanya makan minum dan mabuk-mabukan saja, manjadi seorang peminum yang luar biasa. Betapa pun juga, melihat mereka naik kuda berendeng, memang keduanya merupakan pasangan yang amat setimpal.
Wajah Lu Sian nampak berseri, karena betapa pun juga, menyaksikan sikap Kwee Seng, gadis ini dapat menduga bahwa sebetulnya pemuda yang tampan dan sakti ini jatuh hati kepadanya. Pandang mata pemuda itu dapat ia rasakan dan diam-diam merasa girang sekali. Memang sudah menjadi watak Lu Sian, makin banyak pria jatuh hati kepadanya makin giranglah hatinya, apalagi kalau kemudian ia dapat mematahkan hati orang-orang yang mencintainya itu!
"Kwee-koko (Kakanda Kwee), ke manakah kita menuju?" tanya Lu Sian dengan suara halus dan manis, bahkan mesra.
Kwee Seng memeluk guci araknya dan menoleh ke kiri. Melihat wajah ayu itu menengadah, mata bintang itu menatapnya dan mulut manis itu setengah terbuka, hatinya tertusuk dan cepat-cepat ia membuang muka sambil memejamkan matanya. "Ke mana pun boleh!" jawabnya tak acuh, lalu menenggak araknya sambil duduk di punggung kuda tanpa memegangi kendalinya.
"Eh, bagaimana ini? Kau yang mengajak aku. Biarlah kita ke timur, sampai ditepi sungai Wu-kiang yang indah. Bagaimana koko?"
"Hemm, baik. Ke lembah Wu-kiang!" jawab Kwee Seng.
Lu Sian membedal kudanya dan Kwee Seng masih tetap duduk sambil minum arak, akan tetapi kudanya dengan sendirinya mencongklang mengikuti kuda yang dibalapkan Lu Sian. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari daerah kota raja, memasuki hutan. Kembali Lu Sian menahan kudanya, dan kuda Kwee Seng juga ikut berhenti.
"Kwee-koko, mengapa kau hanya minum saja? Kita melakukan perjalanan sambil bercakap-cakap, kan menyenangkan? Apa kau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku? Kwee-koko, hentikan minummu, kau pandanglah aku!" Mulai jengkel hati Lu Sian yang merasa diabaikan atau tidak diacuhkan.
Kwee Seng menoleh lagi ke kiri, makin terguncang jantungnya dan kembali ia menenggak araknya! "Nona, tidak apa-apa, aku senang melakukan perjalanan ini. Ah arak ini wangi sekali!"
Lu Sian cemberut dan tidak menjalankan kudanya. "Uh, wangi arak yang menjemukan! Masa kau tidak bosan-bosan minum setelah tiga hari tiga malam terus minum bersama ayah? Kwee-koko, aku pernah disebut ayah bunga kecil harum, dan orang-orang di sana semua mengatakan bahwa ada ganda harum sari seribu bunga keluar dari tubuhku. Apakah kau tidak mencium ganda harum itu?"
Kwee Seng tersentak kaget. Alangkah beraninya gadis ini! Alangkah bebasnya dan genitnya! Mengajukan pernyataan dan pertanyaan macam itu kepada seorang pemuda. Dia sendiri yang mendengarnya menjadi merah wajahnya, akan tetapi secara jujur ia berkata, "Memang ada aku mencium bau harum itu, Nona. Semenjak kita bertanding ganda harum itu tidak eh, tidak pernah terlupa olehku. Eh, bagaimana ini?!" Ia tergagap, dan untuk menutupi malunya kembali ia menenggak araknya.
Lu Sian menahan tawanya dan hatinya makin gembira. Kiranya laki-laki ini tiada bedanya dengan yang lain, mahluk lemah dan bodoh, canggung dan kaku kalau berhadapan dengan gadis ayu! Alangkah akan senang hatinya dapat mempermainkan laki-laki ini, mempermainkan pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, yang kesaktiannya menurut ayahnya ketika membisikkan pesan tadi, tidak berada di sebelah bawah tingkat ayahnya!
"Kwee Seng, berhenti!!" tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang pada saat Kwee Seng sedang minum araknya sambil di awasi oleh Lu Sian.
Gadis itu terkejut karena mengenal suara bentakan. Cepat ia membalikkan tubuh di atas punggung kudanya. "Ma-susiok (Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok menyusul kami?"
Biar pun masih duduk di atas kudanya membelakangi mereka yang baru datang, Kwee Seng tahu bahwa yang datang adalah dua orang. Kemudian ia merasa heran juga ketika mendengar suara Ma Thai Kun berubah sama sekali saat menjawab pertanyaan Lu Sian.
"Lu Sian, kau menjauhlah dulu. Urusan ini adalah urusan antara Kwee Seng dengan aku, Percayalah, tindakanku ini sesungguhnya demi kebaikan dirimu."
Kwee Seng adalah seorang pemuda yang amat halus perasaannya. Ia maklum orang macam bagaimana adanya sute ke dua dari Pat-jiu Sin-ong ini, seorang kasar dan pemarah, sombong dan tinggi hati. Mengapa tiba-tiba terkandung getaran halus yang amat berlawanan dengan wataknya itu ketika bicara terhadap Lu Sian? Tiba-tiba ia teringat akan semua peristiwa di Nan-cao dan keningnya berkerut. Tahulah ia sekarang sebabnya dan sekaligus terbongkar sudah olehnya semua rahasia pembunuhan di Beng-kauw. Hal ini mendatangkan marah di hatinya.
“Nona, lebih baik kau menuruti permintaan susiok-mu. Kau minggirlah, dan biar aku bicara dengannya,” ujar Kwee Seng.
Liu Lu Sian tersenyum dan menjauhkan kudanya dengan wajah berseri. Hal inilah yang tidak dimengerti oleh Kwee Seng. Mengapa gadis itu malah tersenyum seperti orang bergembira padahal jelas bahwa paman gurunya mempunyai niat tidak baik terhadap dirinya? Ia tidak peduli, lalu meloncat turun dari atas kudanya dengan guci arak masih di tangan kiri, sambil membalik sehingga ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah berhadapan dengan Ma Thai Kun dan seorang laki-laki muda yang sikapnya sungguh-sungguh tenang, berpakaian sederhana memakai caping dan punggungnya terhias sebatang cambuk. Ma Thai Kun merah mukanya, alisnya berkerut dan sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan.
“Ma Thai Kun, katakanlah kehendak hatimu sekarang.”
“Kwee Seng, kau seorang yang telah menghina Beng-kauw! Kau tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh Beng-kauw, mengandalkan kepandaian mengalahkan seorang wanita muda, mengandalkan mulut manis mengelabui seorang tua. Twa-suheng boleh saja kau kelabui, akan tetapi aku Ma Thai Kun takkan membiarkan kau pergi menggondol keponakanku begitu saja untuk melaksanakan niatmu yang kotor!”
“Wah-wah! Hatimu dan pikiranmu sendiri belepotan noda, kau masih bicara tentang niat kotor orang lain. Bagus sekali mengenal tangan mautmu yang telah kau pergunakan untuk membunuh tujuh orang pemuda di rumah penginapan dan tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Nona Liu Lu Sian!”
“Ma-susiok! Betulkah itu?” Tiba-tiba Lu Sian yang mendengar kata-kata ini bertanya dengan suara terdengar gembira. Benar-benar Kwee Seng tidak mengerti dan sekali lagi ia terheran-heran atas sikap Lu Sian ini.
Merah wajah Ma Thai Kun. “Memang betul aku membunuh mereka. Cacing-cacing tanah itu tak tahu malu dan berani mengharapkan yang bukan-bukan. Orang-orang macam mereka mana patut memikirkan Lu Sian? Aku membunuh mereka apa sangkut-pautnya dengan kau, Kwee Seng?”
“Suheng...! Kenapa kau lakukan kekejaman itu? Bukankah Ji-suheng sudah melarang kita...,” orang muda bertopi runcing itu bertanya, suaranya penuh kekuatiran.
“Sute, tak usah kau turut campur! Kau anak kecil tahu apa!”
Kwee Seng tertawa bergelak. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa orang muda yang menjadi adik seperguruan Ma Thai Kun ini seorang yang jauh bedanya dengan saudara-saudara seperguruannya, jauh lebih bersih batinnya.
“Ma Thai Kun, memang urusan dengan pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi pembunuhan keji itu tak boleh kudiamkan saja tanpa menegurmu. Apalagi kau masih menitipkan sebuah benda kepadaku, apakah kau tidak ingin memintanya kembali?” Sambil berkata demikian, Kwee Seng mengeluarkan sebatang jarum merah dari saku bajunya. “Kau mengenal ini? Kau menghadiahkan ini kepadaku selagi aku tidur, dan untuk kebaikan hati itu aku belum membalasnya,” Kwee Seng menyindir.
Berubah wajah Ma Thai Kun. “Kau... kaukah jahanam itu...?” bentaknya dan tanpa memberi peringatan lagi ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan maut dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sinkang sepenuhnya.
“Aii... aiih... inikah tangan maut yang mengandung racun merah itu?” Kwee Seng mengelak sambil mengejek.
Tiba-tiba dari dalam guci arak itu melesat ke luar bayangan merah dari arak yang muncrat dan menyerang muka Ma Thai Kun. Biar pun hanya benda cair, karena arak itu digerakkan oleh tenaga lweekang maka terasa seperti tusukan jarum. Ma Thai Kun cepat mengibaskan tangannya dan hawa pukulannya membuat arak itu pecah bertebaran. Akan tetapi mendadak sebuah guci arak yang sudah kosong melayang ke arah kepalanya. Ma Thai Kun menangkis dengan tangan kirinya.
“Brakkk!” guci itu pecah pula berkeping-keping.
Namun Kwee Seng sudah merasa puas. Serangannya yang mendadak dapat memecahkan rahasia gerakan Ma Thai Kun, maka ia sudah dapat menyelami dasarnya. Maka ketika Ma Thai Kun menerjangnya lagi, ia menyambut dengan gerakan kedua tangan yang sama kuatnya. Kwee Seng tidak mengeluarkan senjata melihat lawannya juga bertangan kosong.
Memang di antara para saudara seperguruannya, Ma Thai Kun terkenal seorang ahli silat tangan kosong yang tak pernah menggunakan senjata. Namun kedua tangannya merupakan sepasang senjata yang mengandung racun, menggila dahsyatnya dan ampuhnya! Jarang ia menemui tandingan, apalagi kalau lawannya juga bertangan kosong. Baru beradu lengan dengannya saja sudah merupakan bahaya bagi lawan.
Namun kali ini Ma Thai Kun kecelik. Lawannya biar pun masih muda, namun telah memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi sekali. Tanpa diisi lweekang pun, kedua lengannya itu telah kebal terhadap hawa-hawa beracun yang betapa ampuhnya juga. Ketika ia merantau dan berguru kepada pertapa-pertapa di pegunungan Himalaya, ia telah melatih dan menggembleng kedua lengannya dengan obat-obat mukjijat, juga di dalam pertempuran berat ia selalu ‘mengisi’ kedua lengannya dengan hawa sakti dari dalam tubuhnya.
Pertandingan itu hebat bukan main. Setiap gerakan tubuh, baik tangan mau pun kaki, membawa angin dan menimbulkan getaran. Bahkan tanah yang mereka jadikan landasan serasa tergetar oleh tenaga-tenaga dalam yang tinggi tingkatnya. Beberapa kali Ma Thai Kun menggereng dalam pengerahkan tenaga racun merah, disalurkan sepenuhnya ke dalam lengan yang beradu dengan lengan lawan. Namun akibatnya, dia sendiri yang terpental dan merasa betapa hawa panas di lengannya membalik. Makin merahlah ia dan terjangannya makin nekat.
“Ma Thai Kun, manusia macam kau ini semestinya patut dibasmi. Akan tetapi mengingat akan persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong, melihat pula muka nona Liu Lu Sian yang masih terhitung murid keponakan dan melihat muka adik seperguruanmu yang bersih hatinya, aku masih suka mengampunkan engkau. Pergilah!”
Sambil berkata demikian, tiba-tiba Kwee Seng merendahkan tubuhnya, setengah berjongkok dan kedua lengannya mendorong ke depan. Inilah sebuah serangan dengan tenaga sakti yang hebat. Tidak ada angin bersiut, akan tetapi Ma Thai Kun merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga yang hebat dan dahsyat. Ia pun merendahkan diri, mendorongkan kedua lengannya untuk bertahan. Namun akibatnya, terdengar bunyi berkerotokan pada kedua lengannya dan tubuhnya terlempar seperti layang-layang putus talinya, lalu ia roboh terguling dan kedua lengannya menjadi bengkak-bengkak.
“Orang she Kwee, kau melukai suhengku, terpaksa aku membelanya!” kata orang muda bertopi runcing sambil melepaskan cambuknya dari punggung.
“Saudara yang baik, siapakah namamu?” Kwee Seng bertanya, suaranya halus.
"Aku bernama Kauw Bian, saudara termuda dari Twa-suheng Liu Gan.”
“Hemm, kulihat kau seorang yang jujur dan baik. Mengapa engkau hendak membela orang yang menyeleweng dari pada kebenaran?”
“Tindakan Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sute-nya, melihat seorang suheng-nya terluka oleh lawan, bagaimana aku dapat diam? Kewajibankulah untuk membelanya! Orang she Kwee, hayo keluarkan senjatamu dan lawanlah cambukku ini!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian menggerakkan cambuknya keatas dan terdengar bunyi bergeletar nyaring sekali.
Diam-diam Kwee Seng kagum sekali. Cambuk itu biar pun kelihatan seperti cambuk biasa, namun di tangan orang ini dapat menjadi senjata yang ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi jawaban yang membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang patut dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan berkata. “Kauw-enghiong, sikapmu membuat aku lemas dan aku mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku tidak mungkin mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun percaya kau tidak seperti Suheng-mu untuk menyerang seorang yang tidak mau melawan.”
Setelah berkata demikian, Kwee Seng melompat keatas kudanya, menoleh kepada Lu Sian sambil berkata, “Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku atau tidak.” Lalu ia melarikan kudanya pergi dari situ.
Liu Lu Sian tercengang sejenak. Gadis ini lalu tersenyum dan membedal kudanya pula, mengejar kuda pemuda yang sudah cukup jauh. Tinggal Kauw Bian yang masih memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat memandang dua buah bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap itu.
“Kauw Bian-sute! Adik macam apa kau ini? Kenapa tidak kau serang dia?”
Kauw Bian terkejut dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di belakangnya, meringis kesakitan dan ke dua lengannya masih bengkak-bengkak.
“Tidak mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa menyerang orang yang tidak mau melawan?”
“Uhhh, dasar kau lemah....”
Mendadak Ma Thai Kun menghentikan omelannya karena tiba-tiba bertiup angin dan sesosok tubuh tinggi besar melayang turun. Kiranya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa tokoh ini marah, sepasang matanya melotot memandang Ma Thai Kun dan begitu kakinya menginjak tanah, ia lalu membentak.
“Ma Thai Kun! Bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau layak dipukul seperti anjing!” Tangan kiri Liu Gan bergerak dan....
“Plakkk, plakkk!” telapak dan punggung tangan Pat-jiu Sin-ong sudah menampar cepat sekali mengenai sepasang pipi Ma Thai Kun yang terhuyung-huyung ke belakang. Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya menyipit bercahaya ketika berdongak memandang.
“Twa-suheng, apa kesalahanku?”
“Masih bertanya tentang kesalahannya lagi? Anjing hina kau! Kau, tua bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada puteriku, keponakanmu? Penghinaan besar sekali ini, tidak dapat diampunkan!”
“Suheng, apa buktinya?”
“Setan alas! Kau kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu? Sebelum kau membunuhi pemuda-pemuda itu, pada malam hari itu kau membujuk-bujuk Lu Sian dengan kata-kata merayu, kau menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan mau diadakan pemilihan jodoh. Huh, tak malu! Dan kau begitu cemburu dan membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu Sian, malah engkau membunuh tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau berani mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya menampar mukaku. Keparat!!”
Mendengar ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat saking heran, terkejut, dan bingung mendengar kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke Tiga). Namun Ma Thai Kun malah tersenyum.
“Twa-suheng, semua itu memang benar! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku mencinta Lu Sian? Dia wanita dan aku laki-laki! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak melarang perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita hanya ada hubungan keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku mencinta Lu Sian dengan sepenuh jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah mendengar pengakuanku, mengapa Suheng marah-marah?”
Gemertak bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. “Jahanam hina! Apa kau kira menjadi tanda bahwa dia membalas cintamu? Huh, goblok dan hina! Lu Sian selalu akan gembira mendengar orang laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena ia ingin menikmati kelucuan badut-badut itu! Kau sama sekali tidak memandang mukaku, maka kau harus binasa sekarang juga!” Liu Gan sudah bergerak maju, akan tetapi ia menarik kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah menghalanginya.
“Kau... Kauw Bian Sute, mau apa??”
“Maaf, Twa-suheng. Terus terang saja siauwte sendiri tidak setuju perbuatan Ma-suheng itu. Akan tetapi, Twa-suheng, betapa pun besar kesalahannya, kiranya tidaklah baik kalau Twa-suheng menjatuhkan hukuman mati kepada Ma-suheng. Pertama, mengingat akan saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw dan merendahkan nama besar Twa-suheng, malah menyeret pula nama Beng-kauw yang kita cintai. Betapa dunia kang-ouw akan gempar kalau mendengar bahwa ketua Beng-kauw membunuh adik seperguruannya sendiri.”
Liu Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sute-nya yang paling muda dan memang paling ia sayangi itu. “Ah, Siauw-sute! Kau masih begini muda namun pandanganmu luas, pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat menahan kemarahanku. Eh, Ma Thai Kun, minggatlah kau! Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi melihat mukamu. Dan kalau kau berani muncul di depanku, hemmm, aku tidak peduli lagi, pasti aku akan membunuhmu!”
Ma Thai Kun menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di antara pohon-pohon. Kauw Bian menarik napas panjang dan mengusap dua titik air matanya dari pipi.
“Kau menangis, Sute?” Liu Gan bertanya heran.
Dengan suara serak Kauw Bian menjawab, masih membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai Kun. “Perbuatan manusia selalu mendatangkan kebaikan dan keburukan, Twa-suheng. Kalau kita mengingat yang buruk-buruk saja memang dapat menimbulkan benci. Akan tetapi saya teringat akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama menjadi kakak seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia pergi untuk selamanya? Betapa pun juga, beginilah agaknya yang paling baik. Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapa pun juga Ma-suheng pergi membawa serta dendam dan kebencian yang hebat, yang tentu akan membuatnya nekat dan melakukan hal-hal yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya, berarti bahwa semua perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan Beng-kauw.”
Mendengar kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. “Hemmm, agaknya benar lagi pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng kelihatan seorang yang pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau kembalilah dan bantulah Suheng-mu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan kepada Sri Baginda bahwa aku akan merantau selama dua tiga bulan.”
“Twa-suheng hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian? Itu baik sekali, Twa-suheng, karena perjalanan bersama antara seorang pria dan wanita, sungguh merupakan bahaya besar yang bahayanya lebih banyak mengancam si wanita dari pada si pria.”
“Sute, kau benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi!” Pat-jiu Sin-ong Liu Gan berkelebat, angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda yang berpakaian sederhana seperti pengembala ini menarik napas panjang saking kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari hutan itu.
Musim dingin telah tiba, dan melakukan perjalanan pada musim dingin bukanlah hal yang menyenangkan atau mudah. Apalagi kalau hanya menunggang kuda tanpa ada tempat untuk berlindung dari serangan hawa dingin yang menusuk tulang, tidak mengenakan baju bulu yang tebal, tentu perjalanan itu akan mendatangkan sengsara dan juga bahaya mati kedinginan. Namun, tidak demikian agaknya bagi Kwee Seng dan Liu Lu Sian. Dua orang muda ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan pendekar-pendekar yang sudah gemblengan yang dengan ilmunya telah dapat menyelamatkan diri dari pada serangan hawa dingin tanpa bantuan benda luar seperti baju tebal dan selimut. Mereka melakukan perjalanan seenaknya dan hanya mengaso kalau kuda yang mereka tumpangi sudah lelah dan kedinginan.
Pada siang hari itu, mereka mengaso di pinggir Sungai Wu-kiang yang mengalirkan airnya perlahan-lahan ke jurusan timur. Airnya tampak tenang dan sedikit pun tidak bergelombang, membayangkan bahwa sungai itu amat dalam. Lu Sian menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh dua ekor kuda mereka, juga dengan bantuan api, mereka merasa nikmat dan hangat.
“Kwee-koko, sudah dua pekan kita melakukan perjalanan, akan tetapi belum juga kau penuhi dua permintaanku,” Lu Sian berkata sambil mengorek-orek kayu membesarkan nyala api.
“Nona....”
“Nah, yang dua belum dipenuhi, yang satu dilanggar pula. Berapa kali sudah kukatakan supaya kau jangan menyebut Nona kepadaku? Wah, pelajar apakah kau ini, begitu pikun dan kurang perhatian? Mana bisa maju mempelajari sastra yang begitu sulitnya!”
Kwee Seng menarik napas panjang. Gadis ini memang hebat. Tidak saja benar-benar mempunyai kecantikan yang asli dan gilang-gemilang, yang cukup meruntuhkan hatinya, namun juga memiliki watak yang kadang-kadang membuat ia bertekuk lutut karena ia jatuh hatinya. Watak yang berandalan, namun seakan-akan dapat menambah terangnya sinar matahari, menambah merdu kicau burung, menambah meriah suasana dan menjadikan segala apa yang tampak berseri-seri. Akan tetapi, juga makin yakin hatinya bahwa di balik segala keindahan, segala hal-hal yang menjatuhkan hatinya ini, tersimpan sifat-sifat lain yang amat bertentangan dengan hatinya. Sifat kejam dan ganas, tidak mempedulilkan orang lain, terlalu cinta kepada diri sendiri, dan tidak mau kalah, ingin selalu menang dan berkuasa saja.
“Memang aku seorang pelajar yang gagal, tidak lulus ujian.” Ia menjawab, kemudian menambahkan. “Kau minta aku menceritakan riwayatku, apakah gunanya? Aku tidak ada riwayat yang pantas menjadi cerita. Aku seorang sebatang kara, yatim piatu, miskin dan gagal. Apalagi? Tentang permintaanmu ke dua mempelajari ilmu silat yang sedikit-sedikit aku bisa, nantilah, belum tiba saatnya.”
“Wah, kau jual mahal, Koko!” Lu Sian mengejek dan mengisar duduknya mendekati pemuda itu. Memang demikianlah selalu sikap Lu Sian, terhadap siapapun juga. Jinak-jinak merpati, tampaknya jinak tapi tak mudah didekati! “Hawa begini dingin, kalau ditambah sikapmu, bukankah kita akan menjadi beku? Eh, Kwee-koko, kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah seorang ahli silat yang lihai, kau ini pelajar gagal dan murung mengingatkan aku akan seorang penyair yang sama segalanya dan sama murungnya dengan engkau... hi hik...!” Gadis ini menutup mulutnya dengan tangan, akan tetapi matanya jelas mentertawakan Kwee Seng.
“Penyair mana yang kau maksudkan?” Biar pun tahu gadis itu hanya menggodanya, namun bicara tentang syair dan menyair selalu menimbulkan kegembiraan bagi Kwee Seng.
“Siapa lagi kalau bukan Tu Fu! Pernah aku mendengar ayah bicara tentang syair-syairnya, mengerikan!”
“Mengapa mengerikan kalau dia selalu mencurahkan isi hatinya berdasarkan kenyataan dan terdorong oleh rasa kasihan kepada sesamanya?”
“Bukan rasa kasihan kepada sesamanya, Koko, Melainkan rasa kasihan kepada diri sendiri! Karena keadaannya miskin terlantar, dia pandai bicara tentang kemiskinan. Coba dia itu kaya raya, atau andai kata tidak kaya harta benda, sedikitnya kaya akan cinta kasih kepada alam seperti penyair yang seorang lagi... eh, siapa itu yang suka memuji-muji alam, yang suka... mabok-mabokan, gila arak seperti kau pula....”
“Kau maksudkan penyair Li Po?”
“Ya, dia itulah. Kalau Seperti Li Po yang memandang dunia dari segi keindahan, tentu dalam kemiskinannya Tu Fu takkan begitu pahit dan pedas sajak-sajaknya. Wah, aku seperti mengajar itik berenang! Kau tentu lebih tahu dan pandai. Aku paling ngeri mendengar syair Tu Fu tentang anggur, daging dan tulang. Bagaimana bunyinya, Kwee-koko?”
Kwee Seng meramkan mata, menengadahkan mukanya yang tampan ke atas lalu mengucapkan syair ciptaan Tu Fu dengan suara bersemangat, terpengaruh oleh isi sajak yang memaki-maki keadaan pada waktu itu.
Di sebelah dalam pintu gerbang merah,
hangat indah serba mewah,
anggur dan daging bertumpuk-tumpuk,
sampai masam rusak membusuk!
Di sebelah luar pintu gerbang merah,
dinding kotor serba miskin,
berserakan tulang-tulang rangka mereka,
yang mati kedinginan dan kelaparan!
“Iiiihhh! Itu bukan sajak namanya!” Lu Sian mencela, kelihatan jijik dan ngeri, “Tidak enak benar mendengarkan sajak seperti itu.”
“Memang sajak itu keras dan tegas, agak berlebihan, namun mengandung kegagahan yang tiada bandingnya, Non... eh, Moi-moi.”
Sepasang bibir indah merah terbelah memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara ketika Lu Sian mendengar sebutan moi-moi (dinda) itu. Diam-diam ia mentertawakan Kwee Seng di dalam hatinya. Katakanlah kau menang dalam ilmu silat, boleh kau mengira dirimu gagah perkasa dan tampan, namun alangkah mudahnya kalau aku mau menjatuhkanmu, membuatmu bertekuk lutut di depan kakiku! Demikianlah nona ini berkata dalam hatinya.
“Eh, apakah dia itu pun pandai ilmu silat seperti kau, Kwee-koko?”
“Biar pun aku juga hanya seorang bodoh, akan tetapi sedikit banyak mengerti ilmu silat, sedangkan mendiang Tu Fu benar-benar seorang sastrawan yang tak tahu bagaimana caranya memegang gagang pedang, tahunya hanya memegang gagang pensil.”
“Kalau begitu dia orang lemah. Bagaimana gagah tiada bandingnya?”
“Moi-moi, kau tidak tahu. Biar pun orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali pada waktu itu, tak mungkin ia berani melontarkan kata-kata yang seperti bunyi sajak itu, karena dapat dicap sebagai pemberontak dan di hukum mati!”
“Tapi aku lebih kagum kepada penyair Li Po. Masih teringat aku akan sajaknya yang benar-benar membayangkan kegagahan, kalau tidak salah begini:
Alangkah inginku dapat terbang dengan pedang sakti di tangan,
menyebrangi samudera untuk membunuh ikan paus pengganggu nelayan!
Ketika mengucapkan sajak ini, Lu Sian bangkit berdiri. Kedua kakinya terpentang, tubuhnya tegak, dada membusung penuh semangat, serta kelihatan gagah dan cantik jelita. Suaranya bersemangat, merdu dan penuh perasaan sehingga Kwee Seng melihat dan mendengar dengan mata terbelalak dan mulut ternganga! Ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru tersipu-sipu membuang muka ketika Lu sian memandangnya dan bertanya.” Kau kenapa, Koko?”
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa... kau pandai membaca sajak, Moi-moi...,” kata Kwee Seng gagap.
Akan tetapi terdengar gadis itu terkekeh tertawa, suara ketawa yang mengandung banyak arti. Gadis itu masih tersenyum-senyum dan sinar matanya mengerling tajam penuh ejekan ketika mereka bangkit berdiri dan berhadapan. Lu Sian menggerakkan kakinya perlahan mendekati, sampai dekat benar, sampai terasa benar oleh hidung Kwee Seng keharuman yang luar biasa keluar dari tubuh gadis itu. Wajah jelita itu dekat sekali dengan wajahnya, wajah yang berseri dengan mata bersinar-sinar dan bibir terbuka menantang dikulum senyum. Serasa terhenti detak jantung Kwee Seng, bobol pertahanannya dan dengan nafsu yang memabokkan pikirannya didekapnya pundak Lu Sian dalam rangkulan dan ditundukkannya mukanya untuk mencium.
Akan tetapi tiba-tiba Lu Sian menundukkan mukanya sehingga yang tercium oleh Kwee Seng hanyalah rambutnya, rambut yang harum menyengat hidung. Tiba-tiba terdengar gadis itu bertanya, suaranya dingin aneh, penuh cemooh. “Hai, Kwee Seng pendekar muda yang sakti, pertapa belia tahan tapa dan si teguh hati, apakah yang akan kau perbuat ini?”
Kwee Seng gelagapan, seakan mukanya disiram air salju. Mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah. Dilepaskannya dekapan tangannya dan ia membuang muka, lalu menundukkannya. “Maaf... ah, maafkan aku. Seperti sudah gila aku tadi... ah, Nona Liu, maafkan aku. Kenapa kau begitu... begitu jelita dan... dan... keji...?”
Tiba-tiba gadis itu tertawa dan Han Bian Ki kebingungan karena ia tidak melihat gadis itu lagi. Tadi ia hanya melihat bayangan orang berkelebat dan bau harum menusuk hidung, membuat hatinya terguncang. Memang semenjak naik ke panggung ia mencium bau harum keluar dari arah gadis itu. Akan tetapi ketika melihat bayangan orang berkelebat, bau harum itu makin keras tercium dan sekarang tiba-tiba Lu Sian lenyap. Apakah sudah terjengkang ke bawah? Ia melangkah maju dan menjenguk ke bawah, akan tetapi tidak tampak apa-apa. Ketika ia mendengar gelak tawa para tamu, cepat-cepat ia membalikkan tubuh dan terlihat olehnya sang dara jelita sedang tersenyum mengejek!
Seorang yang rendah hati dan tahu diri tentu saja sadar bahwa ia kalah jauh dari gadis itu, akan tetapi Han Bian Ki yang tinggi hati tidak merasa demikian. Malah sebaliknya ia merasa penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang maju dengan serangan lebih hebat, kini malah menyelingi pukulan tangannya dengan tendangan kilat!
Lu Sian tertawa dan tubuhnya melejit-lejit seperti ikan di darat, berputar-putar seperti gasing namun semua pukulan dan tendangan lawan mengenai angin belaka. Seperti tadi, tiba-tiba gadis itu lenyap dengan cara melompati atas kepala lawannya yang kembali menjadi kebingungan. Watak Liu Lu Sian adalah manja dan gadis ini pun memiliki kesombongan, suka memandang rendah orang lain. Apalagi pemuda itu yang terang kalah jauh olehnya, segera menimbulkan rasa angkuh dan sombong dalam hatinya.
Setelah melompati kepala lawannya, gadis ini hinggap dan berdiri di tengah panggung. Sambil menanti lawannya yang kebingungan mencari-carinya, ia berkata, "Uhh, begini saja pemuda yang hendak mencoba kepandaianku? Kalau masih ada yang seperti dia, harap maju saja sekalian! Jangan kuatir, aku takkan tuduh kalian mengeroyok. Yang menang di antara kalian tetap dianggap menang. Hayo maju, agar aku tidak lelah, melayani kalian!"
Dua orang pemuda menyambut seruan Liu Lu Sian ini. Mereka ini adalah seorang pemuda yang tinggi besar dan berwajah buruk, seorang lagi adalah pemuda kurus kering, berwajah kekuningan seperti orang berpenyakitan. Dari dua jurusan mereka melompat ke atas panggung. Agaknya mereka ini menganggap bahwa sekarang terbuka kesempatan bagus bagi mereka untuk mencapai kemenangan!
"Saya Bhong Siat dari lembah Yang-ce!" kata Si Muka Kuning yang suaranya seperti orang berbisik atau kehabisan napas.
Makin muak rasa perut Liu Lu Sian menyaksikan majunya dua orang yang berwajah buruk ini. Memang ia sengaja menantang agar mereka maju sekaligus agar ia tidak usah berkali-kali menghadapi mereka seorang demi seorang. Pula, tantangannya ini merupakan akal untuk menilai mereka. Yang mau datang mengeroyoknya manandakan seorang laki-laki pengecut dan yang tidak boleh dihargai sama sekali, perlu cepat ditundukkan sekaligus.
Han Bian Ki girang melihat majunya dua orang yang semaksud itu. Kini terbuka kesempatan pula baginya untuk mencari kemenangan, atau setidaknya tentu berhasil menyentuh kulit badan Si Nona atau beradu lengan. Maka ia tidak mau kalah semangat dan biar pun sudah sejak tadi ia dipermainkan, kini ia memperlihatkan sikap galak dan menerjang Liu Lu Sian dengan seruan nyaring.
Dua orang yang baru naik itu pun tidak membuang kesempatan ini, membarengi dengan serangan-serangan mereka karena mereka tahu bahwa serangan tiga orang secara berbarengan tentu akan lebih banyak memungkinkan hasil baik.
"Menjemukan...!" Liu Lu Sian berseru dan terjadilah penglihatan yang amat menarik.
Tiga orang pemuda itu menyerang dari tiga jurusan. Serangan mereka galak dan ganas, apalagi Si Muka Kuning Bhong Siat yang ternyata merupakan seorang ahli ilmu silat yang mempergunakan tenaga dalam. Pukulan-pukulannya mendatangkan angin yang bersiutan. Namun hebatnya, tak pernah enam buah tangan dan enam buah kaki itu menyentuh ujung baju Lu Sian.
Gadis itu dalam pandangan tiga orang pengeroyoknya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang berkelebatan seperti sambaran burung walet yang amat lincah. Dan dalam pertandingan kurang dari dua puluh jurus, terdengar teriakan-teriakan dan secara susul-menyusul tubuh tiga orang pemuda itu ‘terbang’ dari atas panggung, terlempar secara yang mereka sendiri tidak tahu bagaimana. Mereka jatuh tunggang-langgang dan berusaha untuk merangkak bangun.
"Hemm, orang-orang tak tahu malu. Hayo lekas pergi dari sini!" terdengar suara keras membentak di belakang mereka dan sebuah lengan yang kuat sekali memegang tengkuk mereka dan tahu-tahu tubuh mereka seorang demi seorang terlempar ke luar. Tanpa berani menoleh lagi kepada Ma Thai Kun yang melemparkan mereka ke luar, tiga orang itu terus saja lari sempoyongan keluar dari halaman gedung.
Para tamu menyambut kemenangan Liu Lu Sian dengan tepuk tangan riuh rendah. Para muda yang tadinya ada niat untuk mencoba-coba, makin kuncup hatinya dan hampir semua membatalkan niat hatinya, menghibur hati yang patah dengan kenyataan bahwa tak mungkin mereka dapat menandingi nona yang amat lihai itu!
Akan tetapi ternyata masih seeorang laki-laki muda yang dengan langkah tegap dan tenang menghampiri panggung, kemudian dengan gerakan lambat melompat naik. Ketika kedua buah kakinya menginjak panggung, Lu Sian merasa tergetar kedua telapak kakinya, tanda bahwa yang datang ini memiliki lweekang yang cukup hebat. Ia menjadi tertarik, akan tetapi ketika mengangkat muka memandang, ia merasa kecewa.
Laki-laki ini sikapnya gagah dan pakaiannya sederhana. Mukanya membayangkan kerendahan hati dan kejujuran, namun sama sekali tidak tampan. Matanya lebar dan alisnya bersambung, sedangkan hidungnya terlalu pesek!
"Saya yang bodoh Lie Kung dari pegunungan Tai-liang. Sebetulnya saya tidak ada harga untuk memasuki sayembara, akan tetapi karena sudah sampai di sini dan saya amat tertarik dan kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat Nona, perkenankanlah saya memperlihatkan kebodohan sendiri." Kata-katanya merendah akan tetapi jujur dan sederhana.
Lu Sian tersenyum mengejek. "Siapa pun juga boleh saja mencoba kepandaian karena memang saat ini merupakan kesempatan. Nah, silakan saudara Lie maju!"
"Nona menjadi nona rumah dan seorang wanita, saya merasa sungkan untuk membuka serangan," jawab Lie Kung.
"Hemm, kalau begitu sambutlah ini!"
Secara tiba-tiba Liu Lu Sian menyerang, pukulannya amat cepat, gerakannya indah akan tetapi bersifat ganas karena pukulan itu mengarah bagian berbahaya di pusar, merupakan serangan maut! Lie Kung berseru keras dan kaget. Tak disangkanya nona yang demikian cantiknya begini ganas gerakannya. Maka cepat ia melompat mundur dan mengibaskan tangan, lalu menangkis dengan kecepatan penuh.
Lu Sian tidak sudi beradu lengan. Ia menarik kembali tangannya dan menyusul dengan pukulan tangan miring dari samping mengarah lambung. Sungguh merupakan terjangan maut yang amat berbahaya. Lie Kung ternyata gesit sekali karena dengan jungkir balik ia segera dapat menyelamatkan diri!
Tepuk tangan menyambut gerakan ini karena sekarang para tamu merasa mendapat suguhan yang menarik, tidak seperti tadi di mana tiga orang pemuda sama sekali tidak dapat mengimbangi permainan Liu Lu Sian yang gesit. Pemuda pesek ini benar-benar cepat gerakannya, walau pun tampaknya lambat dan tenang.
Setelah diserang selama lima jurus dengan hanya mengelak, mulailah Liu Lu Sian mengembangkan gerakannya untuk balas menyerang. Telah ia duga bahwa pemuda ini merupakan seorang ahli lweekang, dan ternyata benar. Pukulan pemuda ini berat dan antep, hanya sayangnya pemuda ini berlaku sungkan-sungkan, buktinya yang diserang hanya bagian-bagian yang tidak berbahaya.
Marahlah Lu Sian. Sikap pemuda yang hanya mengarahkan serangan pada pundak, pangkal lengan dan bagian-bagian lain yang tidak berbahaya itu, baginya diterima salah. Dianggap bahwa pemuda ini terlampau memandang rendah padanya, seakan-akan sudah merasa pasti akan menang sehingga tidak mau membuat serangannya berbahaya.
Setelah lewat tiga puluh jurus mereka serang-menyerang, tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi yang mengejutkan semua orang. Gerakannya tiba-tiba berubah lambat dan aneh, pukulannya merupakan gerakan yang melingkar-lingkar.
"Bagaimana kau lihat pemuda itu?" Pat-jiu Sin-ong bertanya ketika ia melihat Kwee Seng menoleh dan menonton pertandingan, tidak seperti tadi ketika tiga orang pemuda mengeroyok Lu Sian.
Kwee Seng memandang acuh tak acuh. "Lumayan juga. Bakatnya baik dan kalau ia tidak terlalu banyak kehendak, ia dapat menjadi ahli lweekeh yang tangguh."
"Ha-ha, kau lihat. Puteriku sudah mulai mainkan Sin-coa-kun ciptaanku yang terakhir. Pemuda itu takkan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus!"
Diam-diam Kwee Seng memperhatikan. Ilmu silat Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) memang hebat, mengandung gerakan-gerakan ilmu silat tinggi yang disembunyikan dalam gaya kedua tangan yang gerakannya seperti ular menggeliat-geliat dan melingkar-lingkar. Namun dalam ilmu silat ini terkandung sifat yang amat ganas, dan kembali sepasang alis pemuda ini berkerut saking kecewa. Sungguh sayang sekali, kecantikan seperti bidadari itu, dirusak sifat-sifat liar dan ganas, diisi ilmu yang amat keji.
Untuk mengusir kekecewaan yang menggeregoti hatinya, pemuda ini menuangkan arak sepenuhnya dan mengangkat cawan. "Minum biar puas!" lalu sekali tenggak habislah arak itu.
Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak dan minum araknya pula.
Ramalan Pat-jiu Sin-ong ternyata terbukti. Tepat sepuluh jurus setelah pemuda she Lie itu terdesak dan bingung menghadapi dua lengan halus yang seperti sepasang ular mengamuk, lehernya kena dihantam tangan miring. Ia mengaduh dan terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi tepat pada saat lehernya dihantam, ia dapat mengibaskan tangannya hingga mengenai lengan Lu Sian.
“Plakk!” gadis itu menyeringai kesakitan, lengannya terasa panas sekali.
Biar pun ia sudah tahu bahwa pukulannya mengenai leher lawan dengan tepat, karena lengannya tertangkis tadi, Lu Sian menjadi marah dan cepat ia maju lagi mengirim pukulan yang agaknya akan menamatkan riwayat pemuda itu.
"Cukup...!!" tiba-tiba sesosok bayangan meloncat ke atas panggung dan dengan cepat menangkis tangan Lu Sian yang mengirim pukulan maut.
"Dukkk!" dua buah lengan tangan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang sampai tiga langkah.
Dengan kemarahan meluap-luap Lu Sian memandang orang yang begitu lancang berani menangkis pukulannya tadi. Ia membelalakkan matanya dan... tiba-tiba ia merasa seakan-akan jantungnya diguncang keras, kemarahannya lenyap dan ia terpesona. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang pemuda yang begini ganteng!
Rambutnya hitam tebal diikatkan ke atas dengan sehelai sutera kuning. Pakaiannya indah dan ringkas, membayangkan tubuhnya yang tegap berisi, dadanya yang bidang. Alisnya berbentuk golok, hitam seperti dicat, hidung mancung, mulut berbentuk bagus membayangkan watak gagah dan hati keras. Pendeknya, wajah dan bentuk badan seorang jantan yang tentu akan meruntuhkan hati setiap orang gadis remaja!
Seketika Lu Sian jatuh hatinya, akan tetapi mengingat perbuatan lancang pemuda ini, untuk menjaga harga dirinya, ia menegur juga, hanya tegurannya tidak seketus yang dikehendakinya. "Kau siapa, berani lancang turun tangan mencampuri pertandingan?"
Pemuda itu menuntun Lie Kung sampai ke pinggir panggung, menyuruhnya mengundurkan diri. Lie Kung menjura ke arah Liu Lu Sian lalu melompat turun, terus pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah itu baru pemuda yang membawa sebuah golok disarungkan dan digantungkan pada pinggangnya itu membalikkan tubuh menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata. "Maaf, Nona. Memang saya tadi berlaku lancang. Akan tetapi sekali-kali bukan dengan maksud hati yang buruk, hanya untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah. Sudah terlalu banyak jiwa melayang.... Ah, sayang sekali. Kunasehatkan kepadamu, Nona. Hentikan cara pemilihan suami seperti ini. Tiada guna! Dan kasihan kepada yang tidak mampu menandingimu. Nah, sekali lagi maafkan kelancanganku tadi!" Ia menjura dan hendak pergi.
"Eh orang lancang! Bagaimana kau bisa pergi begitu saja setelah menghinaku? Hayo maju kalau kau memang berkepandaian!" Lu Sian sengaja menantang karena hatinya sudah jatuh dan ingin ia menguji kepandaian laki-laki yang menarik hatinya ini. Kalau memang benar seperti dugaannya, bahwa laki-laki ini memiliki kepandaian tinggi seperti terbukti ketika menangkisnya tadi, ia akan merasa puas mendapat jodoh setampan dan segagah ini.
Kwee Seng memang tampan pula, tetapi terlalu tampan seperti perempuan, kalah gagah oleh pemuda ini. Dan biar pun ia tahu ilmu kepandaian Kwee Seng mungkin hebat, akan tetapi sikap pemuda itu terlalu halus, terlalu lemah lembut, kurang ‘jantan’!
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, kembali menjura kepada Lu Sian sambil berkata dengan suara perlahan. "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang... akan tetapi... bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona. Biarlah aku mengaku kalah terhadapmu!" Sambil melempar pandang tajam yang menusuk hati Lu Sian, pemuda itu hendak mengundurkan diri.
"Apakah engkau begitu pengecut, berani berlaku lancang tidak berani memperkenalkan diri? Siapakah kau yang sudah berani... menghinaku?”
Dimaki pengecut, pemuda itu menjadi merah mukanya. "Aku bukan pengecut! Kalau Nona ingin benar tahu, namaku adalah Kam Si Ek dari Shan-si." Setelah berkata demikian, pemuda gagah bernama Kam Si Ek itu lalu meloncat turun dari panggung dan cepat-cepat lari ke luar dari halaman gedung.
Sampai beberapa saat lamanya Liu Lu Sian berdiri bengong di atas panggung, merasa betapa semangatnya seakan-akan melayang-layang mengikuti kepergian pemuda ganteng itu.
"Pat-jiu Sin-ong, kau baru saja kehilangan seorang calon mantu yang hebat!" Kwee Seng berkata sambil menyambar daging panggang dengan sumpitnya.
"Kau maksudkan bocah ganteng tadi? Siapakah dia? Namanya tidak pernah kudengar," jawab Pat-jiu Sin-ong.
"Ha-ha-ha! Kam Si Ek adalah panglima muda di Shan-si dan hanya karena adanya pemuda itulah maka Shan-si terkenal sebagai daerah yang amat kuat dan membuat gubernurnya yang bernama Li Ko Yung terkenal. Cocok sekali dia dengan puterimu. Puterimu menjadi perebutan pemuda-pemuda, sebaliknya entah berapa banyaknya gadis di dunia ini yang ingin menjadi istrinya! Ha-ha-ha!" Terang bahwa Kwee Seng sudah mulai terpengaruh arak.
Memang sebetulnyalah kalau pemuda itu tadi mengatakan bahwa dia tidak bisa minum arak banyak-banyak. Akan tetapi karena kerusakan hatinya menghadapi cinta terhadap Liu Lu Sian berbareng kecewa, ia sengaja nekat minum terus tanpa ditakar lagi.
"Huh, apa artinya panglima bagiku? Dia memang tampan. Akan tetapi kalau disuruh memilih, aku memilih kau, Kwee Seng!"
Liu Lu Sian tersentak kaget dan membalikkan tubuh, masih berdiri di tengah panggung. Juga para tamu mendengar percakapan yang dilakukan dengan suara keras itu. Kini mereka memandang ke arah dua orang itu, terutama sekali Kwee Seng yang menjadi pusat perhatian.
Pemuda ini sudah bangkit berdiri, cawan arak di tangan kanannya. Hatinya berguncang keras ketika ia mendengar ucapan ketua Beng-kauw itu. Betapa tidak? Jelas bahwa Ketua Beng-kauw ini agaknya suka memilih dia sebagai mantu. Dan dia sendiri pun sudah jelas mencintai gadis jelita itu, hal ini tidak dapat ia bantah, seluruh isi hati dan tubuhnya mengakui.
Mau apa lagi? Tinggal mengalahkan gadis itu, apa sukarnya? Akan tetapi di balik rasa cinta, di sudut kepalanya di mana kesadarannya berada, terdapat rasa tak senang yang menekan kembali rasa cinta kasihnya dengan bisikan-bisikan tentang kenyataan betapa keadaan gadis itu dan keluarganya sama sekali tidak cocok, bahkan berlawanan dengan pendirian dan wataknya. Ia jatuh cinta kepada seorang dara yang berwatak liar dan ganas, sombong dan tinggi hati, licik dan keji, gadis yang menjadi puteri tunggal Ketua Beng-kauw yang sakti, aneh dan sukar diketahui bagaimana wataknya. Gadis yang menjadi sebab kematian banyak pemuda yang tak berdosa!
Kesadarannya membisikkan bahwa betapa pun ia mencintai gadis itu, cintanya hanya karena pengaruh kejelitaan gadis itu dan kalau ia menuruti cintanya yang terdorong nafsu, kelak akan tersiksa hatinya. Akan tetapi perasaannya membantah. Kalau ia boleh membawa pergi gadis itu bersamanya, mungkin ia bisa membimbingnya menjadi seorang isteri yang baik dan cocok dengan sifat-sifat dan wataknya.
"Lo-enghiong, jangan main-main!"
"Ha-ha, siapa main-main? Kwee-hiantit hanya kaulah yang agaknya pantas bertanding dengan puteriku. Hayo kau kalahkan dia, kalau tidak, anakku itu akan makin besar kepala saja dan para tamu tentu akan mengira aku hendak menang sendiri! Ha-ha-ha!"
"Hemmm, puterimu berkepandaian tinggi. Terus terang saja, aku pun ingin sekali menguji kepandaiannya. Akan tetapi... hemm, Lo-enghiong, harap jangan salah sangka. Dengan jujur aku mengaku bahwa puterimu telah menarik hatiku. Akan tetapi, perjodohan melalui pertandingan memang kurang tepat, yang perlu hati masing-masing. Bagaimana kalau aku naik ke panggung, tapi bukan untuk memasuki sayembara pemilihan jodoh, hanya sekedar main-main menguji kepandaian belaka?" Ucapan ini dilakukan perlahan tidak terdengar orang lain.
Akan tetapi Ketua Beng-kauw itu tertawa keras dan menjawab dengan suara keras pula. "Ha-ha-ha-ha! Aku mengerti, kau memang seorang yang teliti dan cermat, terlalu berhati-hati! Kalau menyalahi peraturan, berarti melanggar dan siapa melanggar harus didenda!"
Kwee Seng tertawa pula dan menenggak sisa araknya. "Dendanya bagaimana?”
“Kau harus menurunkan ilmu pukulan yang kau pergunakan untuk mengalahkan puteriku itu kepadanya."
"Aku tidak keberatan. Tapi dia harus ikut denganku ke mana aku pergi."
"Boleh. Nah, orang muda, kau cobalah!"
Hati Liu Lu Sian sudah mendongkolkan sekali mendengarkan percakapan antara ayahnya dan pemuda pelajar yang kelihatan lemah lembut itu. Apalagi ketika ia melihat Kwee Seng berjalan menghampirinya dengan langkah sempoyongan dan mukanya yang berkulit putih halus itu kelihatan merah sekali, tanda-tanda seorang mabuk!
"Apakah Kwee-kongcu juga tidak mau ketinggalan dalam lomba pameran kepandaian?" Liu Lu Sian menegur dengan kata-kata dingin. Ternyata gadis ini masih mendongkol mengingat betapa tadi di depan ayahnya, Kwee Seng sudah membikin basah pakaiannya dengan arak, merupakan bukti bahwa dalam adu tenaga secara diam-diam itu pemuda ini sudah menang setingkat dari padanya.
"Cuma kali ini Kongcu sedang mabuk, tidak enak kalau aku mencari kemenangan dari seorang yang mabok!" dengan kata-kata ketus ini Liu Lu Sian hendak menebus rasa malunya tadi.
Kwee Seng tersenyum dan diam-diam mengagumi wajah yang demikian eloknya. Mulut yang biar pun menghamburkan kata-kata pedas dan pahit, namun tetap manis didengar. Matanya yang agak mabok itu seakan-akan lekat pada bibir itu. Sejenak Kwee Seng terpesona, tak dapat berkata apa-apa, tak dapat bergerak memandang ke arah mulut dara jelita di depannya. Ia hanya berdiri melamun....
Bibir merah basah menantang
Bentuk indah gendewa terpentang
Hangat lembut mulut juita
Sarang madu sari puspita
Senyum dikulum bibir gemetar
Tersingkap mutiara indah berjajar
Segar sedap lekuk di pipi
Mengawal suara merdu sang dewi!
"Heh, kenapa kau melongo saja?" tiba-tiba Lu Sian membentak, lenyap sikapnya yang menghormat karena ia tak dapat menahan kejengkelan hatinya.
Kwee Seng sadar dari lamunannya. "Eh..., ohh... Nona, kau tahu, aku sebetulnya tidak ingin memasuki sayembara... dan aku... aku lebih suka bertanding dengan si pemilik tangan maut!" Sambil berkata demikian ia menoleh, matanya mencari-cari.
"Cukup! Tak perlu banyak bicara lagi Kwee-kongcu. Aku sudah mendengar bahwa kalau aku kalah, aku harus menjadi muridmu dan ikut pergi bersamamu!" kata pula Lu Sian dengan senyum mengejek. "Akan tetapi jangan kira akan mudah mengalahkan aku!" Setelah berkata demikian, gadis itu berkelebat cepat dan tahu-tahu ia sudah lari menyambar pedangnya yang terletak di atas meja dan secepat itu pula berkelebat kembali menghadapi Kwee Seng.
Pemuda itu tersenyum, senyum yang mengandung banyak arti, setengah mengejek dan setengah kagum. Begitu cepatnya gadis itu bergerak dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah.
Lu Sian merasakan ejekan ini. Dengan gemas ia berkata," Menghadapi seorang sakti seperti engkau ini, Kwee-kongcu, tidak bisa disamakan dengan segala cacing tanah tadi. Aku mengharapkan pelajaran darimu dalam menggunakan senjata!" Sambil berkata demikian gadis ini mencabut pedangnya dan tampaklah sinar berkelebat, putih menyilaukan mata.
"Lu Sian, mundurlah! Manusia ini terlalu sombong, biar aku mewakilimu memberi hajaran!" Tiba-tiba bayangan tinggi kurus melayang ke depan Kwee Seng dan sebuah lengan menyambar ke arah dada pemuda itu.
"Wutttt!" Kwee Seng miringkan pundaknya dan pukulan yang hebat itu lewat cepat.
"Hemm, aku senang sekali melayanimu!" kata Kwee Seng dan jari telunjuknya menotok ke arah pergelangan tangan yang lewat di sampingnya.
Akan tetapi secepat itu pula Ma Thai Kun sudah menarik kembali lengannya sehingga dalam dua gebrakan ini mereka berkesudahan nol-nol atau sama cepatnya.
"Ji-sute, mundur kau!" kembali Liu Gan berseru keras, matanya melotot marah.
Ma Thai Kun tidak berani membantah perintah suheng-nya dan ia mundurkan diri dengan kemarahan di tahan-tahan.
“Orang She Kwee, kau terlalu sombong. Lihat pedangku!" bentak Liu Lu Sian sambil menggerakan pedangnya dengan cepat.
Pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang membuat lingkaran-lingkaran lebar, makin lama lingkaran itu makin lebar mengurung tubuh Kwee Seng. Namun pemuda ini hanya menggerakkan sedikit tubuhnya dan selalu ia terhindar dari kilat yang berpencaran ke luar dari sinar pedang itu.
"Lu Sian, jangan pandang ringan dia! Gunakan Toa-hong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin Badai)!" seru Liu Gan dengan suara gembira, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
Begitu gebrakan pertama dan selanjutnya secara cepat berlangsung, Lu Sian sudah mengerti bahwa Kwee Seng ini benar-benar amat lihai. Pedangnya yang menyambar-nyambar seperti hujan cepatnya itu ternyata dapat dielakkan secara aneh dan sama sekali tidak tampak tergesa-gesa, seakan-akan semua gerakannya ini masih terlampau lambat bagi Kwee Seng.
Oleh karena ini, begitu mendengar seruan ayahnya, ia segera mengerahkan tenaga dan berlaku hati-hati. Cepat ia mainkan ilmu pedang ajaran ayahnya, yaitu Toa-hong Kiam-hoat. Gadis ini mengerti bahwa kali ini ia tidak saja harus menjaga harga dirinya, melainkan juga menjaga muka ayahnya.
Diam-diam Kwee Seng kaget dan kagum melihat perubahan ilmu pedang gadis itu yang kini menderu-deru seperti angin badai mengamuk. Tidak percuma ketua Beng-kauw mendapat julukan Pat-jiu Sin-ong, dan tidak percuma pula gadis itu menjadi puteri tunggalnya karena ilmu pedang ini amat cepat, hebat dan berbahaya sehingga tak mungkin dihadapi mengandalkan kecepatan belaka.
Pemuda sakti ini maklum pula bahwa Pt-jiu Sin-ong seorang yang amat licik dan aneh. Tentu sekarang Ketua Beng-kauw itu menyuruh anaknya mengeluarkan ilmu pedang simpanan agar terpaksa ia mengeluarkan ilmunya yang sejati pula untuk mengalahkan Lu Sian. Kwee Seng maklum pula bahwa janji untuk menurunkan ilmunya yang mengalahkan Lu Sian, adalah janji yang amat licik dari Pat-jiu Sin-ong, yang membayangkan sifat loba seorang ahli silat yang ingin sekali menguasai seluruh ilmu yang paling sakti di dunia ini.
Melalui puterinya, ketua Beng-kauw ini hendak memancing-mancing ilmu silatnya untuk menambah perbendaharaan ilmu Pat-jiu Sin-ong! Karena tidak ingin menggunakan ilmu simpanannya untuk mengalahkan Lu Sian agar ia tidak usah menurunkan ilmu itu pada gadis ini, kembali Kwee Seng mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi dari pada kepandaian gadis itu untuk melesat kesana kemari, menyelinap di antara sambaran pedang Lu Sian yang seperti badai mengamuk itu. Akan tetapi belum lima belas jurus Lu Sian mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kian, ayahnya sudah berseru lagi.
"Lu Sian, pergunakan Pat-mo Kiam-hoat!"
Ilmu pedang Pat-mo-kiam (Pedang Delapan Iblis) ini sengaja diciptakan oleh Pat-jiu Sin-ong untuk mengimbangi Ilmu Pedang Pat-sian-kiam (Pedang Delapan Dewa) yang pernah ia hadapi dahulu. Hebatnya bukan kepalang.
Lu Sian kembali menurut perintah ayahnya dan gerakan pedangnya berubah lagi. Kini pedangnya tidak mengandalkan kecepatan, melainkan lebih mendasarkan serangan pada penggunaan tenaga sinkang (tenaga sakti). Setiap tusukan atau bacokan mengandung tenaga mukjijat sehingga anginnya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat.
Kembali Kwee Seng kaget dan kagum. Seperti juga sifat Pat-sian-kiam yang ia kenal, ilmu pedang ini rapi sekali, seakan-akan dimainkan oleh delapan orang, namun Pat-mo-kiam mengandung sifat yang lebih ganas dan keji. Mendadak ia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Biar pun Pat-mo-kiam diciptakan untuk menghadapi Pat-sian-kiam, namun ilmu silat hanya sekedar teori atau peraturan gerakan belaka, yang terpenting adalah orangnya. Karena tingkatnya lebih tinggi dari pada tingkat Lu Sian, maka ia merasa sanggup mengalahkan Pat-mo-kiam yang dimainkan gadis ini dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam.
Ia berseru keras dan tahu-tahu tangannya sudah mencabut ke luar sebuah kipas yang disembunyikan di dalam bajunya. Cepat ia mainkan Ilmu Pedang Pat-sian-kiam. Kipasnya mengeluarkan angin yang kuat sekali sehingga gulungan sinar pedang putih terdesak dan tiba-tiba Lu Sian berseru keras karena siku kanannya terkena totokan gagang kipas. Seketika tangannya kejang dan hampir saja ia melepaskan pedang, baiknya dengan gerakan yang cepat bukan main Kwee Seng sudah memulihkan totokan lagi sehingga gadis itu dapat menyambar pedangnya yang sudah terlepas tadi. Dasar gadis yang tak dapat menerima kekalahan, begitu pedangnya terpegang lagi ia terus menyerang dengan hebat!
"Aiihh...!" Kwee Seng berseru dan tubuhnya berkelebat.
Terpaksa ia mempergunakan ilmunya yang hebat, yaitu Pat-sian Kiam-hoat yang sudah ia gabung dengan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Kipasnya mengebut pedang lawan, dan selagi pedang itu miring letaknya, gagang kipasnya menotok dan... kini seluruh tubuh Lu Sian menjadi kaku tak dapat digerakkan lagi! Kwee Seng cepat menempel pedang lawan dengan kipasnya, merampas pedang itu di antara kipas sambil jari tangan kirinya membebaskan totokan!
Lu Sian dapat bergerak lagi, akan tetapi pedangnya sudah terampas. Gadis itu marah bukan main, siap menerjang dengan tangan kosong berdasarkan kenekatan.
"Lu Sian, cukup! Haturkan terima kasih kepada calon suami atau gurumu! Ha-ha-ha!" teriak Pat-jiu Sin-ong sambil melompat ke atas panggung.
Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan Kwee Seng ini, sedangkan Lu Sian lari ke dalam tanpa menoleh lagi.
Sambil merangkul pundak Kwee Seng, Pat-jiu Sin-ong berkata lantang kepada para tamunya. "Sahabat mudaku Kwee Seng telah menang mutlak atas puteriku dan dia berhak menjadi calon mantuku. Akan tetapi, karena dia pun seorang aneh, tidak kalah anehnya dengan aku sendiri, hanya dia yang dapat menentukan apakah perjodohan ini diteruskan atau tidak. Betapa pun juga, ia sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang tadi mengalahkan puteriku kepada Liu Lu Sian. Suami atau guru, apa bedanya? Ha-ha-ha-ha-ha!"
Orang tua itu menggandeng tangan Kwee Seng untuk di ajak minum sepuasnya. Sedangkan para tamu mulai menaruh perhatian dan mempercakapkan pemuda pelajar yang tampaknya lemah-lembut itu. Beberapa orang tokoh tua segera mengenal Kwee Seng sebagai Kim-mo-eng dan mulai saat itu, terkenallah nama Kim-mo-eng Kwee Seng.
Tiga hari kemudian, Kwee Seng dan Lu Sian kelihatan menunggang dua ekor kuda keluar dari kota raja Kerajaan Nan-cao. Seperti telah ia janjikan, setelah memenangkan pertandingan ia akan mengajarkan ilmu kepada Lu Sian dan gadis itu harus menyertai peraturannya sampai menerima pelajaran itu.
Pat-jiu Sin-ong memberi dua ekor kuda yang baik, berikut seguci arak kepada Kwee Seng karena selama tiga hari di tempat itu, pemuda ini siang malam hanya makan minum dan mabuk-mabukan saja, manjadi seorang peminum yang luar biasa. Betapa pun juga, melihat mereka naik kuda berendeng, memang keduanya merupakan pasangan yang amat setimpal.
Wajah Lu Sian nampak berseri, karena betapa pun juga, menyaksikan sikap Kwee Seng, gadis ini dapat menduga bahwa sebetulnya pemuda yang tampan dan sakti ini jatuh hati kepadanya. Pandang mata pemuda itu dapat ia rasakan dan diam-diam merasa girang sekali. Memang sudah menjadi watak Lu Sian, makin banyak pria jatuh hati kepadanya makin giranglah hatinya, apalagi kalau kemudian ia dapat mematahkan hati orang-orang yang mencintainya itu!
"Kwee-koko (Kakanda Kwee), ke manakah kita menuju?" tanya Lu Sian dengan suara halus dan manis, bahkan mesra.
Kwee Seng memeluk guci araknya dan menoleh ke kiri. Melihat wajah ayu itu menengadah, mata bintang itu menatapnya dan mulut manis itu setengah terbuka, hatinya tertusuk dan cepat-cepat ia membuang muka sambil memejamkan matanya. "Ke mana pun boleh!" jawabnya tak acuh, lalu menenggak araknya sambil duduk di punggung kuda tanpa memegangi kendalinya.
"Eh, bagaimana ini? Kau yang mengajak aku. Biarlah kita ke timur, sampai ditepi sungai Wu-kiang yang indah. Bagaimana koko?"
"Hemm, baik. Ke lembah Wu-kiang!" jawab Kwee Seng.
Lu Sian membedal kudanya dan Kwee Seng masih tetap duduk sambil minum arak, akan tetapi kudanya dengan sendirinya mencongklang mengikuti kuda yang dibalapkan Lu Sian. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari daerah kota raja, memasuki hutan. Kembali Lu Sian menahan kudanya, dan kuda Kwee Seng juga ikut berhenti.
"Kwee-koko, mengapa kau hanya minum saja? Kita melakukan perjalanan sambil bercakap-cakap, kan menyenangkan? Apa kau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku? Kwee-koko, hentikan minummu, kau pandanglah aku!" Mulai jengkel hati Lu Sian yang merasa diabaikan atau tidak diacuhkan.
Kwee Seng menoleh lagi ke kiri, makin terguncang jantungnya dan kembali ia menenggak araknya! "Nona, tidak apa-apa, aku senang melakukan perjalanan ini. Ah arak ini wangi sekali!"
Lu Sian cemberut dan tidak menjalankan kudanya. "Uh, wangi arak yang menjemukan! Masa kau tidak bosan-bosan minum setelah tiga hari tiga malam terus minum bersama ayah? Kwee-koko, aku pernah disebut ayah bunga kecil harum, dan orang-orang di sana semua mengatakan bahwa ada ganda harum sari seribu bunga keluar dari tubuhku. Apakah kau tidak mencium ganda harum itu?"
Kwee Seng tersentak kaget. Alangkah beraninya gadis ini! Alangkah bebasnya dan genitnya! Mengajukan pernyataan dan pertanyaan macam itu kepada seorang pemuda. Dia sendiri yang mendengarnya menjadi merah wajahnya, akan tetapi secara jujur ia berkata, "Memang ada aku mencium bau harum itu, Nona. Semenjak kita bertanding ganda harum itu tidak eh, tidak pernah terlupa olehku. Eh, bagaimana ini?!" Ia tergagap, dan untuk menutupi malunya kembali ia menenggak araknya.
Lu Sian menahan tawanya dan hatinya makin gembira. Kiranya laki-laki ini tiada bedanya dengan yang lain, mahluk lemah dan bodoh, canggung dan kaku kalau berhadapan dengan gadis ayu! Alangkah akan senang hatinya dapat mempermainkan laki-laki ini, mempermainkan pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, yang kesaktiannya menurut ayahnya ketika membisikkan pesan tadi, tidak berada di sebelah bawah tingkat ayahnya!
"Kwee Seng, berhenti!!" tiba-tiba terdengar bentakan dari belakang pada saat Kwee Seng sedang minum araknya sambil di awasi oleh Lu Sian.
Gadis itu terkejut karena mengenal suara bentakan. Cepat ia membalikkan tubuh di atas punggung kudanya. "Ma-susiok (Paman Guru Ma)! Ada keperluan apakah Susiok menyusul kami?"
Biar pun masih duduk di atas kudanya membelakangi mereka yang baru datang, Kwee Seng tahu bahwa yang datang adalah dua orang. Kemudian ia merasa heran juga ketika mendengar suara Ma Thai Kun berubah sama sekali saat menjawab pertanyaan Lu Sian.
"Lu Sian, kau menjauhlah dulu. Urusan ini adalah urusan antara Kwee Seng dengan aku, Percayalah, tindakanku ini sesungguhnya demi kebaikan dirimu."
Kwee Seng adalah seorang pemuda yang amat halus perasaannya. Ia maklum orang macam bagaimana adanya sute ke dua dari Pat-jiu Sin-ong ini, seorang kasar dan pemarah, sombong dan tinggi hati. Mengapa tiba-tiba terkandung getaran halus yang amat berlawanan dengan wataknya itu ketika bicara terhadap Lu Sian? Tiba-tiba ia teringat akan semua peristiwa di Nan-cao dan keningnya berkerut. Tahulah ia sekarang sebabnya dan sekaligus terbongkar sudah olehnya semua rahasia pembunuhan di Beng-kauw. Hal ini mendatangkan marah di hatinya.
“Nona, lebih baik kau menuruti permintaan susiok-mu. Kau minggirlah, dan biar aku bicara dengannya,” ujar Kwee Seng.
Liu Lu Sian tersenyum dan menjauhkan kudanya dengan wajah berseri. Hal inilah yang tidak dimengerti oleh Kwee Seng. Mengapa gadis itu malah tersenyum seperti orang bergembira padahal jelas bahwa paman gurunya mempunyai niat tidak baik terhadap dirinya? Ia tidak peduli, lalu meloncat turun dari atas kudanya dengan guci arak masih di tangan kiri, sambil membalik sehingga ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah berhadapan dengan Ma Thai Kun dan seorang laki-laki muda yang sikapnya sungguh-sungguh tenang, berpakaian sederhana memakai caping dan punggungnya terhias sebatang cambuk. Ma Thai Kun merah mukanya, alisnya berkerut dan sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan.
“Ma Thai Kun, katakanlah kehendak hatimu sekarang.”
“Kwee Seng, kau seorang yang telah menghina Beng-kauw! Kau tidak memandang mata kepada tokoh-tokoh Beng-kauw, mengandalkan kepandaian mengalahkan seorang wanita muda, mengandalkan mulut manis mengelabui seorang tua. Twa-suheng boleh saja kau kelabui, akan tetapi aku Ma Thai Kun takkan membiarkan kau pergi menggondol keponakanku begitu saja untuk melaksanakan niatmu yang kotor!”
“Wah-wah! Hatimu dan pikiranmu sendiri belepotan noda, kau masih bicara tentang niat kotor orang lain. Bagus sekali mengenal tangan mautmu yang telah kau pergunakan untuk membunuh tujuh orang pemuda di rumah penginapan dan tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Nona Liu Lu Sian!”
“Ma-susiok! Betulkah itu?” Tiba-tiba Lu Sian yang mendengar kata-kata ini bertanya dengan suara terdengar gembira. Benar-benar Kwee Seng tidak mengerti dan sekali lagi ia terheran-heran atas sikap Lu Sian ini.
Merah wajah Ma Thai Kun. “Memang betul aku membunuh mereka. Cacing-cacing tanah itu tak tahu malu dan berani mengharapkan yang bukan-bukan. Orang-orang macam mereka mana patut memikirkan Lu Sian? Aku membunuh mereka apa sangkut-pautnya dengan kau, Kwee Seng?”
“Suheng...! Kenapa kau lakukan kekejaman itu? Bukankah Ji-suheng sudah melarang kita...,” orang muda bertopi runcing itu bertanya, suaranya penuh kekuatiran.
“Sute, tak usah kau turut campur! Kau anak kecil tahu apa!”
Kwee Seng tertawa bergelak. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa orang muda yang menjadi adik seperguruan Ma Thai Kun ini seorang yang jauh bedanya dengan saudara-saudara seperguruannya, jauh lebih bersih batinnya.
“Ma Thai Kun, memang urusan dengan pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi pembunuhan keji itu tak boleh kudiamkan saja tanpa menegurmu. Apalagi kau masih menitipkan sebuah benda kepadaku, apakah kau tidak ingin memintanya kembali?” Sambil berkata demikian, Kwee Seng mengeluarkan sebatang jarum merah dari saku bajunya. “Kau mengenal ini? Kau menghadiahkan ini kepadaku selagi aku tidur, dan untuk kebaikan hati itu aku belum membalasnya,” Kwee Seng menyindir.
Berubah wajah Ma Thai Kun. “Kau... kaukah jahanam itu...?” bentaknya dan tanpa memberi peringatan lagi ia sudah menerjang ke depan, menggerakkan kedua tangannya mengirim serangan maut dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga sinkang sepenuhnya.
“Aii... aiih... inikah tangan maut yang mengandung racun merah itu?” Kwee Seng mengelak sambil mengejek.
Tiba-tiba dari dalam guci arak itu melesat ke luar bayangan merah dari arak yang muncrat dan menyerang muka Ma Thai Kun. Biar pun hanya benda cair, karena arak itu digerakkan oleh tenaga lweekang maka terasa seperti tusukan jarum. Ma Thai Kun cepat mengibaskan tangannya dan hawa pukulannya membuat arak itu pecah bertebaran. Akan tetapi mendadak sebuah guci arak yang sudah kosong melayang ke arah kepalanya. Ma Thai Kun menangkis dengan tangan kirinya.
“Brakkk!” guci itu pecah pula berkeping-keping.
Namun Kwee Seng sudah merasa puas. Serangannya yang mendadak dapat memecahkan rahasia gerakan Ma Thai Kun, maka ia sudah dapat menyelami dasarnya. Maka ketika Ma Thai Kun menerjangnya lagi, ia menyambut dengan gerakan kedua tangan yang sama kuatnya. Kwee Seng tidak mengeluarkan senjata melihat lawannya juga bertangan kosong.
Memang di antara para saudara seperguruannya, Ma Thai Kun terkenal seorang ahli silat tangan kosong yang tak pernah menggunakan senjata. Namun kedua tangannya merupakan sepasang senjata yang mengandung racun, menggila dahsyatnya dan ampuhnya! Jarang ia menemui tandingan, apalagi kalau lawannya juga bertangan kosong. Baru beradu lengan dengannya saja sudah merupakan bahaya bagi lawan.
Namun kali ini Ma Thai Kun kecelik. Lawannya biar pun masih muda, namun telah memiliki tingkat kepandaian yang sangat tinggi sekali. Tanpa diisi lweekang pun, kedua lengannya itu telah kebal terhadap hawa-hawa beracun yang betapa ampuhnya juga. Ketika ia merantau dan berguru kepada pertapa-pertapa di pegunungan Himalaya, ia telah melatih dan menggembleng kedua lengannya dengan obat-obat mukjijat, juga di dalam pertempuran berat ia selalu ‘mengisi’ kedua lengannya dengan hawa sakti dari dalam tubuhnya.
Pertandingan itu hebat bukan main. Setiap gerakan tubuh, baik tangan mau pun kaki, membawa angin dan menimbulkan getaran. Bahkan tanah yang mereka jadikan landasan serasa tergetar oleh tenaga-tenaga dalam yang tinggi tingkatnya. Beberapa kali Ma Thai Kun menggereng dalam pengerahkan tenaga racun merah, disalurkan sepenuhnya ke dalam lengan yang beradu dengan lengan lawan. Namun akibatnya, dia sendiri yang terpental dan merasa betapa hawa panas di lengannya membalik. Makin merahlah ia dan terjangannya makin nekat.
“Ma Thai Kun, manusia macam kau ini semestinya patut dibasmi. Akan tetapi mengingat akan persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong, melihat pula muka nona Liu Lu Sian yang masih terhitung murid keponakan dan melihat muka adik seperguruanmu yang bersih hatinya, aku masih suka mengampunkan engkau. Pergilah!”
Sambil berkata demikian, tiba-tiba Kwee Seng merendahkan tubuhnya, setengah berjongkok dan kedua lengannya mendorong ke depan. Inilah sebuah serangan dengan tenaga sakti yang hebat. Tidak ada angin bersiut, akan tetapi Ma Thai Kun merasa betapa tubuhnya terdorong tenaga yang hebat dan dahsyat. Ia pun merendahkan diri, mendorongkan kedua lengannya untuk bertahan. Namun akibatnya, terdengar bunyi berkerotokan pada kedua lengannya dan tubuhnya terlempar seperti layang-layang putus talinya, lalu ia roboh terguling dan kedua lengannya menjadi bengkak-bengkak.
“Orang she Kwee, kau melukai suhengku, terpaksa aku membelanya!” kata orang muda bertopi runcing sambil melepaskan cambuknya dari punggung.
“Saudara yang baik, siapakah namamu?” Kwee Seng bertanya, suaranya halus.
"Aku bernama Kauw Bian, saudara termuda dari Twa-suheng Liu Gan.”
“Hemm, kulihat kau seorang yang jujur dan baik. Mengapa engkau hendak membela orang yang menyeleweng dari pada kebenaran?”
“Tindakan Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sute-nya, melihat seorang suheng-nya terluka oleh lawan, bagaimana aku dapat diam? Kewajibankulah untuk membelanya! Orang she Kwee, hayo keluarkan senjatamu dan lawanlah cambukku ini!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian menggerakkan cambuknya keatas dan terdengar bunyi bergeletar nyaring sekali.
Diam-diam Kwee Seng kagum sekali. Cambuk itu biar pun kelihatan seperti cambuk biasa, namun di tangan orang ini dapat menjadi senjata yang ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi jawaban yang membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang patut dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan berkata. “Kauw-enghiong, sikapmu membuat aku lemas dan aku mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku tidak mungkin mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun percaya kau tidak seperti Suheng-mu untuk menyerang seorang yang tidak mau melawan.”
Setelah berkata demikian, Kwee Seng melompat keatas kudanya, menoleh kepada Lu Sian sambil berkata, “Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku atau tidak.” Lalu ia melarikan kudanya pergi dari situ.
Liu Lu Sian tercengang sejenak. Gadis ini lalu tersenyum dan membedal kudanya pula, mengejar kuda pemuda yang sudah cukup jauh. Tinggal Kauw Bian yang masih memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat memandang dua buah bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap itu.
“Kauw Bian-sute! Adik macam apa kau ini? Kenapa tidak kau serang dia?”
Kauw Bian terkejut dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di belakangnya, meringis kesakitan dan ke dua lengannya masih bengkak-bengkak.
“Tidak mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa menyerang orang yang tidak mau melawan?”
“Uhhh, dasar kau lemah....”
Mendadak Ma Thai Kun menghentikan omelannya karena tiba-tiba bertiup angin dan sesosok tubuh tinggi besar melayang turun. Kiranya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa tokoh ini marah, sepasang matanya melotot memandang Ma Thai Kun dan begitu kakinya menginjak tanah, ia lalu membentak.
“Ma Thai Kun! Bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau layak dipukul seperti anjing!” Tangan kiri Liu Gan bergerak dan....
“Plakkk, plakkk!” telapak dan punggung tangan Pat-jiu Sin-ong sudah menampar cepat sekali mengenai sepasang pipi Ma Thai Kun yang terhuyung-huyung ke belakang. Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya menyipit bercahaya ketika berdongak memandang.
“Twa-suheng, apa kesalahanku?”
“Masih bertanya tentang kesalahannya lagi? Anjing hina kau! Kau, tua bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada puteriku, keponakanmu? Penghinaan besar sekali ini, tidak dapat diampunkan!”
“Suheng, apa buktinya?”
“Setan alas! Kau kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu? Sebelum kau membunuhi pemuda-pemuda itu, pada malam hari itu kau membujuk-bujuk Lu Sian dengan kata-kata merayu, kau menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan mau diadakan pemilihan jodoh. Huh, tak malu! Dan kau begitu cemburu dan membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu Sian, malah engkau membunuh tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau berani mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya menampar mukaku. Keparat!!”
Mendengar ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat saking heran, terkejut, dan bingung mendengar kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke Tiga). Namun Ma Thai Kun malah tersenyum.
“Twa-suheng, semua itu memang benar! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku mencinta Lu Sian? Dia wanita dan aku laki-laki! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak melarang perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita hanya ada hubungan keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku mencinta Lu Sian dengan sepenuh jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah mendengar pengakuanku, mengapa Suheng marah-marah?”
Gemertak bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. “Jahanam hina! Apa kau kira menjadi tanda bahwa dia membalas cintamu? Huh, goblok dan hina! Lu Sian selalu akan gembira mendengar orang laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena ia ingin menikmati kelucuan badut-badut itu! Kau sama sekali tidak memandang mukaku, maka kau harus binasa sekarang juga!” Liu Gan sudah bergerak maju, akan tetapi ia menarik kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah menghalanginya.
“Kau... Kauw Bian Sute, mau apa??”
“Maaf, Twa-suheng. Terus terang saja siauwte sendiri tidak setuju perbuatan Ma-suheng itu. Akan tetapi, Twa-suheng, betapa pun besar kesalahannya, kiranya tidaklah baik kalau Twa-suheng menjatuhkan hukuman mati kepada Ma-suheng. Pertama, mengingat akan saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw dan merendahkan nama besar Twa-suheng, malah menyeret pula nama Beng-kauw yang kita cintai. Betapa dunia kang-ouw akan gempar kalau mendengar bahwa ketua Beng-kauw membunuh adik seperguruannya sendiri.”
Liu Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sute-nya yang paling muda dan memang paling ia sayangi itu. “Ah, Siauw-sute! Kau masih begini muda namun pandanganmu luas, pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat menahan kemarahanku. Eh, Ma Thai Kun, minggatlah kau! Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi melihat mukamu. Dan kalau kau berani muncul di depanku, hemmm, aku tidak peduli lagi, pasti aku akan membunuhmu!”
Ma Thai Kun menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di antara pohon-pohon. Kauw Bian menarik napas panjang dan mengusap dua titik air matanya dari pipi.
“Kau menangis, Sute?” Liu Gan bertanya heran.
Dengan suara serak Kauw Bian menjawab, masih membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai Kun. “Perbuatan manusia selalu mendatangkan kebaikan dan keburukan, Twa-suheng. Kalau kita mengingat yang buruk-buruk saja memang dapat menimbulkan benci. Akan tetapi saya teringat akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama menjadi kakak seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia pergi untuk selamanya? Betapa pun juga, beginilah agaknya yang paling baik. Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapa pun juga Ma-suheng pergi membawa serta dendam dan kebencian yang hebat, yang tentu akan membuatnya nekat dan melakukan hal-hal yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya, berarti bahwa semua perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan Beng-kauw.”
Mendengar kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. “Hemmm, agaknya benar lagi pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng kelihatan seorang yang pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau kembalilah dan bantulah Suheng-mu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan kepada Sri Baginda bahwa aku akan merantau selama dua tiga bulan.”
“Twa-suheng hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian? Itu baik sekali, Twa-suheng, karena perjalanan bersama antara seorang pria dan wanita, sungguh merupakan bahaya besar yang bahayanya lebih banyak mengancam si wanita dari pada si pria.”
“Sute, kau benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi!” Pat-jiu Sin-ong Liu Gan berkelebat, angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda yang berpakaian sederhana seperti pengembala ini menarik napas panjang saking kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari hutan itu.
Musim dingin telah tiba, dan melakukan perjalanan pada musim dingin bukanlah hal yang menyenangkan atau mudah. Apalagi kalau hanya menunggang kuda tanpa ada tempat untuk berlindung dari serangan hawa dingin yang menusuk tulang, tidak mengenakan baju bulu yang tebal, tentu perjalanan itu akan mendatangkan sengsara dan juga bahaya mati kedinginan. Namun, tidak demikian agaknya bagi Kwee Seng dan Liu Lu Sian. Dua orang muda ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan pendekar-pendekar yang sudah gemblengan yang dengan ilmunya telah dapat menyelamatkan diri dari pada serangan hawa dingin tanpa bantuan benda luar seperti baju tebal dan selimut. Mereka melakukan perjalanan seenaknya dan hanya mengaso kalau kuda yang mereka tumpangi sudah lelah dan kedinginan.
Pada siang hari itu, mereka mengaso di pinggir Sungai Wu-kiang yang mengalirkan airnya perlahan-lahan ke jurusan timur. Airnya tampak tenang dan sedikit pun tidak bergelombang, membayangkan bahwa sungai itu amat dalam. Lu Sian menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh dua ekor kuda mereka, juga dengan bantuan api, mereka merasa nikmat dan hangat.
“Kwee-koko, sudah dua pekan kita melakukan perjalanan, akan tetapi belum juga kau penuhi dua permintaanku,” Lu Sian berkata sambil mengorek-orek kayu membesarkan nyala api.
“Nona....”
“Nah, yang dua belum dipenuhi, yang satu dilanggar pula. Berapa kali sudah kukatakan supaya kau jangan menyebut Nona kepadaku? Wah, pelajar apakah kau ini, begitu pikun dan kurang perhatian? Mana bisa maju mempelajari sastra yang begitu sulitnya!”
Kwee Seng menarik napas panjang. Gadis ini memang hebat. Tidak saja benar-benar mempunyai kecantikan yang asli dan gilang-gemilang, yang cukup meruntuhkan hatinya, namun juga memiliki watak yang kadang-kadang membuat ia bertekuk lutut karena ia jatuh hatinya. Watak yang berandalan, namun seakan-akan dapat menambah terangnya sinar matahari, menambah merdu kicau burung, menambah meriah suasana dan menjadikan segala apa yang tampak berseri-seri. Akan tetapi, juga makin yakin hatinya bahwa di balik segala keindahan, segala hal-hal yang menjatuhkan hatinya ini, tersimpan sifat-sifat lain yang amat bertentangan dengan hatinya. Sifat kejam dan ganas, tidak mempedulilkan orang lain, terlalu cinta kepada diri sendiri, dan tidak mau kalah, ingin selalu menang dan berkuasa saja.
“Memang aku seorang pelajar yang gagal, tidak lulus ujian.” Ia menjawab, kemudian menambahkan. “Kau minta aku menceritakan riwayatku, apakah gunanya? Aku tidak ada riwayat yang pantas menjadi cerita. Aku seorang sebatang kara, yatim piatu, miskin dan gagal. Apalagi? Tentang permintaanmu ke dua mempelajari ilmu silat yang sedikit-sedikit aku bisa, nantilah, belum tiba saatnya.”
“Wah, kau jual mahal, Koko!” Lu Sian mengejek dan mengisar duduknya mendekati pemuda itu. Memang demikianlah selalu sikap Lu Sian, terhadap siapapun juga. Jinak-jinak merpati, tampaknya jinak tapi tak mudah didekati! “Hawa begini dingin, kalau ditambah sikapmu, bukankah kita akan menjadi beku? Eh, Kwee-koko, kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah seorang ahli silat yang lihai, kau ini pelajar gagal dan murung mengingatkan aku akan seorang penyair yang sama segalanya dan sama murungnya dengan engkau... hi hik...!” Gadis ini menutup mulutnya dengan tangan, akan tetapi matanya jelas mentertawakan Kwee Seng.
“Penyair mana yang kau maksudkan?” Biar pun tahu gadis itu hanya menggodanya, namun bicara tentang syair dan menyair selalu menimbulkan kegembiraan bagi Kwee Seng.
“Siapa lagi kalau bukan Tu Fu! Pernah aku mendengar ayah bicara tentang syair-syairnya, mengerikan!”
“Mengapa mengerikan kalau dia selalu mencurahkan isi hatinya berdasarkan kenyataan dan terdorong oleh rasa kasihan kepada sesamanya?”
“Bukan rasa kasihan kepada sesamanya, Koko, Melainkan rasa kasihan kepada diri sendiri! Karena keadaannya miskin terlantar, dia pandai bicara tentang kemiskinan. Coba dia itu kaya raya, atau andai kata tidak kaya harta benda, sedikitnya kaya akan cinta kasih kepada alam seperti penyair yang seorang lagi... eh, siapa itu yang suka memuji-muji alam, yang suka... mabok-mabokan, gila arak seperti kau pula....”
“Kau maksudkan penyair Li Po?”
“Ya, dia itulah. Kalau Seperti Li Po yang memandang dunia dari segi keindahan, tentu dalam kemiskinannya Tu Fu takkan begitu pahit dan pedas sajak-sajaknya. Wah, aku seperti mengajar itik berenang! Kau tentu lebih tahu dan pandai. Aku paling ngeri mendengar syair Tu Fu tentang anggur, daging dan tulang. Bagaimana bunyinya, Kwee-koko?”
Kwee Seng meramkan mata, menengadahkan mukanya yang tampan ke atas lalu mengucapkan syair ciptaan Tu Fu dengan suara bersemangat, terpengaruh oleh isi sajak yang memaki-maki keadaan pada waktu itu.
Di sebelah dalam pintu gerbang merah,
hangat indah serba mewah,
anggur dan daging bertumpuk-tumpuk,
sampai masam rusak membusuk!
Di sebelah luar pintu gerbang merah,
dinding kotor serba miskin,
berserakan tulang-tulang rangka mereka,
yang mati kedinginan dan kelaparan!
“Iiiihhh! Itu bukan sajak namanya!” Lu Sian mencela, kelihatan jijik dan ngeri, “Tidak enak benar mendengarkan sajak seperti itu.”
“Memang sajak itu keras dan tegas, agak berlebihan, namun mengandung kegagahan yang tiada bandingnya, Non... eh, Moi-moi.”
Sepasang bibir indah merah terbelah memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara ketika Lu Sian mendengar sebutan moi-moi (dinda) itu. Diam-diam ia mentertawakan Kwee Seng di dalam hatinya. Katakanlah kau menang dalam ilmu silat, boleh kau mengira dirimu gagah perkasa dan tampan, namun alangkah mudahnya kalau aku mau menjatuhkanmu, membuatmu bertekuk lutut di depan kakiku! Demikianlah nona ini berkata dalam hatinya.
“Eh, apakah dia itu pun pandai ilmu silat seperti kau, Kwee-koko?”
“Biar pun aku juga hanya seorang bodoh, akan tetapi sedikit banyak mengerti ilmu silat, sedangkan mendiang Tu Fu benar-benar seorang sastrawan yang tak tahu bagaimana caranya memegang gagang pedang, tahunya hanya memegang gagang pensil.”
“Kalau begitu dia orang lemah. Bagaimana gagah tiada bandingnya?”
“Moi-moi, kau tidak tahu. Biar pun orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali pada waktu itu, tak mungkin ia berani melontarkan kata-kata yang seperti bunyi sajak itu, karena dapat dicap sebagai pemberontak dan di hukum mati!”
“Tapi aku lebih kagum kepada penyair Li Po. Masih teringat aku akan sajaknya yang benar-benar membayangkan kegagahan, kalau tidak salah begini:
Alangkah inginku dapat terbang dengan pedang sakti di tangan,
menyebrangi samudera untuk membunuh ikan paus pengganggu nelayan!
Ketika mengucapkan sajak ini, Lu Sian bangkit berdiri. Kedua kakinya terpentang, tubuhnya tegak, dada membusung penuh semangat, serta kelihatan gagah dan cantik jelita. Suaranya bersemangat, merdu dan penuh perasaan sehingga Kwee Seng melihat dan mendengar dengan mata terbelalak dan mulut ternganga! Ia berada dalam keadaan seperti itu dan baru tersipu-sipu membuang muka ketika Lu sian memandangnya dan bertanya.” Kau kenapa, Koko?”
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa... kau pandai membaca sajak, Moi-moi...,” kata Kwee Seng gagap.
Akan tetapi terdengar gadis itu terkekeh tertawa, suara ketawa yang mengandung banyak arti. Gadis itu masih tersenyum-senyum dan sinar matanya mengerling tajam penuh ejekan ketika mereka bangkit berdiri dan berhadapan. Lu Sian menggerakkan kakinya perlahan mendekati, sampai dekat benar, sampai terasa benar oleh hidung Kwee Seng keharuman yang luar biasa keluar dari tubuh gadis itu. Wajah jelita itu dekat sekali dengan wajahnya, wajah yang berseri dengan mata bersinar-sinar dan bibir terbuka menantang dikulum senyum. Serasa terhenti detak jantung Kwee Seng, bobol pertahanannya dan dengan nafsu yang memabokkan pikirannya didekapnya pundak Lu Sian dalam rangkulan dan ditundukkannya mukanya untuk mencium.
Akan tetapi tiba-tiba Lu Sian menundukkan mukanya sehingga yang tercium oleh Kwee Seng hanyalah rambutnya, rambut yang harum menyengat hidung. Tiba-tiba terdengar gadis itu bertanya, suaranya dingin aneh, penuh cemooh. “Hai, Kwee Seng pendekar muda yang sakti, pertapa belia tahan tapa dan si teguh hati, apakah yang akan kau perbuat ini?”
Kwee Seng gelagapan, seakan mukanya disiram air salju. Mukanya menjadi pucat, lalu berubah merah. Dilepaskannya dekapan tangannya dan ia membuang muka, lalu menundukkannya. “Maaf... ah, maafkan aku. Seperti sudah gila aku tadi... ah, Nona Liu, maafkan aku. Kenapa kau begitu... begitu jelita dan... dan... keji...?”
Komentar
Posting Komentar