SULING EMAS : JILID-17

"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat."
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok. "Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"
"Eh, kenapa?"
"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."
"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"
"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."
“Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat,” pikir Kwee Seng.
Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.
"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhu-mu, kau harus ikut ke mana pun aku pergi."
Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walau pun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut, "Suhu!"
Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya. Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biar pun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari mulutnya. Matanya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak baik, muridku yang baik....!"
Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini. Maka dalam saat itu, di dalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak terhadap ayah!
"Bu Song, kau tunggu sebentar di sini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu.
Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya untuk belajar ‘terbang’ seperti yang dilakukan suhunya. Akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil masih lekat di lubuk hatinya. Ia tidak tahu ke mana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga ke mana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk menanti di bawah pohon itu. Kewajiban seorang murid untuk mentaati perintah gurunya dan andai kata gurunya itu sehari semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu!
Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat datang membawa pundi-pundi kuning. Datang-datang gurunya melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar-benar menjemukan!"
Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya. "Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?" tanyanya, sikapnya hormat sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian kujungkir-balikkan meja judi, kelempar-lemparkan mereka ke atas genteng."
Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka. Tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati mereka terhadap suhunya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai di mana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.
"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan. "Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting ke sana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau susullah aku ke sana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani, Suhu?"
"Baik. Nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap.
Untuk kedua kalinya Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu ‘menghilang’. Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkannya di punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan.
Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa jeri. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti di sana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya. Apa pun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya. Hatinya lapang, langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali.
Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia. Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!
Dua hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka. Tidak ada dusun, tidak ada rumah orang di mana ia dapat mencari pengisi perut. Namun, perantauannya selama ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga mendapatkan pengalaman, menambah akalnya untuk mengisi perut kosong. Buah-buahan, telur-telur di sarang burung, kalau perlu malah daun-daun muda dan beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan untuk mengusir lapar. Soal minum tidaklah sukar, karena banyak terdapat sumber-sumber air atau sungai-sungai kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai juga ia ke kaki gunung Tapie-san.
Sementara itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi pendekar sakti ini, perjalanan semalam sudah cukup karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berloncatan dari batu ke batu, melompati jurang-jurang, mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.
Akhirnya ia berhenti di depan sebuah bangunan besar terkurung tembok tinggi, bentuknya seperti kuil kuno yang besar dan yang agaknya belum lama diperbaiki karena cat dan kapurnya masih baru. Pagar tembok bagian depan bersambung pada sebuah pintu cat merah, pintu yang tebal dan kokoh kuat, namun tertutup. Sekeliling gedung itu sunyi senyap dan memang amat mengherankan bahwa di lereng yang sunyi jauh tempat tinggal manisia ini terdapat sebuah gedung demikian megahnya, mirip sebuah istana musim panas di mana seorang raja atau pangeran tinggal melewatkan musim panas. Tak mungkin seorang pengemis tinggal di tempat seperti ini, akan tetapi karena yang ia cari adalah raja pengemis, siapa tahu kalau-kalau inilah istananya?
Tanpa ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan mengetoknya. Ketokannya keras dan suara ketokan bergema, lalu sunyi. Ia menanti sebentar, lalu mengetok lagi. Apakah gedung itu kosong? Tak mungkin! Kalau kosong pintu gerbangnya takkan tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung dara terbang berputaran di atas gedung. Burung dara tentu dipelihara orang.
Benar dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang disusul langkah kaki ke arah pintu, kemudian suara tapal pintu dibukakan orang. Daun pintu terbuka perlahan, pertama-tama memperlihatkan sebuah pekarangan yang luas di depan gedung yang dilihat dari keadaan ruang depannya saja jelas membayangkan kemewahan gedung. Dari balik daun pintu yang terbuka muncul dua orang pengemis tinggi besar yang berwajah bengis!
Kim-mo Taisu melangkah masuk. Sekarang tampaklah olehnya serombongan orang berpakaian pengemis berdiri berbaris di kanan kiri pekarangan itu, setiap baris sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu keluar tiga orang pengemis tua. Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan, malah tidak begitu bersih seperti barisan di pekarangan. Tampaknya tiga orang ini adalah pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap dan langkah mereka sama sekali bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap pembesar-pembesar tinggi!
Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah di antara tiga orang ini yang memakai nama julukan Raja Pengemis? Akan tetapi menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, raja pengemis itu masih muda sedangkan tiga orang pengemis ini biar pun agaknya juga merupakan pimpinan pengemis, sudah berusia lima puluh lebih.
Melihat betapa semua orang yang hadir di tempat ini berpakaian tambal-tambalan, Kim-mo Taisu menunduk untuk memandang pakaiannya sendiri, kemudian ia tertawa bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan anak buahnya semua berpakaian pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut dan penuh tambalan.
"Ha-ha-ha-ha! Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang punya rumah sama-sama berpakaian pengemis. Akan tetapi biar sama, jauh bedanya! Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan, asli pakaian pengemis, namun aku bukan pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian adalah buatan, sengaja ditambal-tambal seperti pakaian pengemis, akan tetapi kalian betul-betul pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan kepalsuan manusia?"
Kini tiga orang pengemis tua itu sudah berada di depan Kim-mo Taisu. Mendengar perkataannya, tiga orang pengemis itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi mengandung tenaga sehingga terdengar jelas, "Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di Sin-yang dan hendak mencari Kai-ong?"
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini bisa tahu akan peristiwa di Sin-yang? Padahal ia telah melakukan perjalanan cepat sekali ke lereng gunung ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-yang mendahuluinya memberi kabar? Kalau memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari cepat orang itu! Hampir sukar dipercaya.
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke atas dan ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana bisa melawan kecepatan burung?" Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang mengirim surat dengan perantaraan burung dara ke tempat ini. "Memang akulah yang mencari Kai-ong. Suruh dia keluar, aku mau bicara dengannya!"
"Hemm, tidak mudah bertemu dengan Kai-ong. Orang muda, kau siapakah dan apa maksudmu mau bertemu dengan Kai-ong?"
"Aku bukan datang untuk memperkenalkan nama. Suruh saja rajamu keluar, aku tidak ada urusan dengan kalian pengemis-pengemis palsu."
"Hemmm, orang muda sombong! Kai-ong sudah menugaskan kami menjaga di sini, tanpa melalui kami bertiga pengemis tua bertongkat sakti, mana bisa kau pergi menghadap Kai-ong?"
Mendengar ini, Kim-mo Taisu memandang teliti. Tiga orang kakek ini adalah orang-orang tua yang biasa saja, bertubuh kurus seperti kurang makan, pakaiannya tambal-tambalan, memakai sepatu kulit. Akan tetapi tangan mereka memegang sebuah tongkat panjang seperti toya, dapat dipergunakan sebagai tongkat mau pun senjata. Melihat bentuk pentung ketiganya serupa, teringatlah ia akah nama tiga tokoh besar pengemis, yaitu Sin-tung Sam-lo-kai (Tiga Pengemis Tua Bertongkat Sakti).
Akan tetapi sepanjang pendengarannya, Sin-tung Sam-lo-kai adalah tokoh-tokoh pengemis yang amat terkenal di selatan, terkenal sebagai orang-orang pandai yang tidak termasuk golongan jahat, bahkan memimpin kaipang-kaipang (perkumpulan pengemis) di selatan. Bagaimana sekarang tiga orang tokoh ini hanya menjadi penjaga pintu di sini?
"Bukankah Sam-wi (Tuan Bertiga) ini Sin-tung Sam-lo-kai?"
Tiga orang kakek itu saling pandang, agaknya merasa heran. "Hemm, orang muda," kata kakek pertama yang paling tua. "Jadi kau sudah mengenal kami? Kalau begitu, lebih baik kau memperkenalkan diri dan katakan terus terang saja, apa maksudmu mencari Kai-ong?"
"Sam-wi Lo-kai adalah orang-orang ternama di selatan, bagaimana sekarang hanya menjadi penjaga pintu di sini? Siapakah dia yang memiliki gedung ini?"
"Bukan urusanmu! Lebih baik kau lekas mengaku, atau pergi saja dari sini, jangan mengganggu kami," jawab pengemis itu cepat-cepat.
Akan tetapi Kim-mo Taisu seorang cerdik. Ia dapat menduga bahwa tiga orang itu tentu merasa tidak senang sekali dengan ‘pekerjaan’ mereka, akan tetapi agaknya dilakukan dengan terpaksa, entah oleh apa dan mengapa.
"Ha-ha-ha, kau boleh takut pada raja pengemis itu, akan tetapi aku tidak. Biar dia seorang siluman sekalipun, aku harus mencari dia!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu melangkah maju dan berkata keras, "Harap kalian bertiga minggir!"
Namun tiga orang kakek itu sudah memalangkan tongkat mereka yang panjang, siap menerjang. Kim-mo Taisu tertawa bergelak, seakan-akan tidak melihat ancaman tongkat terkenal itu, terus melangkah maju hendak memasuki pintu depan rumah gedung.
"Apakah kau mencari mampus?" bentak tiga orang kakek pengemis itu dan terdengar suara angin menyambar keras ketika mereka menggerakkan tongkat menyerang.
Dari angin serangan ini saja Kim-mo Taisu dapat menaksir bahwa kepandaian tiga orang kakek pengemis ini tidak kalah oleh Koai-tung Tiang-lo yang pernah ia lawan di dalam rumah judi di Sin-yang. Maka dapat dibayangkan hebatnya tiga batang tongkat yang menusuk dari kanan kiri dan sebatang lagi diputar menghadang di depan!
"Wuuuttt! Wuuuttt!" dua batang tongkat berubah menjadi sinar kehitaman menyambar dari kanan kiri mengancam lambung.
Kim-mo Taisu mengembangkan kedua lengannya, kemudian tangannya bergerak secepat kilat menangkap ujung kedua tongkat, mengerahkan lweekang menarik ujung tongkat ke bawah sambil berseru keras. Dua orang pengemis tua itu tak dapat melawan tarikan tenaga yang dahsyat ini. Betapa pun mereka mempertahankan kehendak merampas kembali tongkat yang terpegang lawan, namun sia-sia belaka dan tahu-tahu tongkat mereka telah amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih!
Kakek ke tiga yang menyerang dari depan marah sekali. Ujung tongkatnya yang tadinya terputar-putar itu kini meluncur ke depan bagaikan seekor ular hitam, menerjang maju dengan tusukan yang berlenggang-lenggok dan sekaligus telah menotok ke arah tujuh jalan darah berturut-turut. Kim-mo Taisu maklum akan kelihaian jurus serangan ini, maka ia cepat menggunakan ginkang-nya untuk berturut-turut pula mengelak ke kanan kiri, kemudian lengan bajunya bergerak memutar, melibat ujung tongkat.
"Lepas....!!" teriaknya sambil mengerahkan sinkang. Sekali ia membetot dengan kuat, tongkat itu tak dapat dipertahankan lagi oleh pemiliknya, terlepas dan meluncur bagaikan anak panah kemudian menancap pada dinding pagar, gagangnya bergetar keras mengeluarkan bunyi.
Tiga orang kakek itu adalah Sin-tung Sam-lo-kai, dari julukannya saja sudah menyatakan bahwa mereka itu ahli-ahli tongkat yang lihai. Tentu saja mereka kaget setengah mati melihat kenyataan yang sukar dipercaya, betapa dalam segebrakan saja lawan muda yang seperti orang gila ini mampu merampas tongkat mereka! Mereka menjadi penasaran sekali, dan selain penasaran, juga mereka tidak berani membiarkan orang ini masuk ke dalam gedung begitu saja karena hal ini akan membuat mereka kesalahan dan akan mendapat marah dari Kai-ong.
"Tahan dia!" seru kakek tertua memberi perintah kepada barisan pengemis ketika ia melihat Kim-mo Taisu berlenggang seenaknya hendak memasuki gedung.
Ia sendiri lari untuk mencabut tongkatnya dari dinding, sedangkan kedua orang temannya juga sudah mencabut tongkat masing-masing yang menancap di atas tanah. Barisan pengemis yang terdiri dari delapan belas orang itu bergerak maju cepat sekali dari kanan kiri, dan terkurunglah Kim-mo Taisu.
Pendekar aneh ini berdiri di tengah-tengah pekarangan depan, bertolak pinggang dan tertawa bergelak melihat barisan pengemis itu lari berputaran di sekelilingnya, membentuk barisan aneh yang berubah-ubah, kadang-kadang merupakan lingkaran bundar, dalam sedetik berubah menjadi segi tiga, terus berubah-ubah dengan bertambah seginya dan setengah menjadi pat-kwa (segi delapan) lalu perlahan-lahan menjadi bulat lagi. Barisan ini teratur sekali dan melihat perubahan-perubahan yang rapi ini diam-diam Kim-mo Taisu merasa kagum.
"Orang muda, biar pun kau lihai, tak mungkin kau dapat lolos dari Kan-kauw-kai-tin (Barisan Pengemis Pengejar Anjing) kami. Sebelum kami turun tangan membunuhmu, lebih baik kau lekas mengaku, siapakah engkau dan apa perlumu mencari Kai-ong?!"
Kim-mo Taisu menarik napas panjang. "Barisanmu baik sekali, Sam-lo-kai, biarlah aku mencoba untuk menjadi anjingnya biar dikejar-kejar barisanmu." Sambil tertawa bergelak Kim-mo Taisu lalu menerobos ke depan, nekat hendak memasuki gedung.
Segera di depannya telah menghadang tiga orang pengemis anggota barisan yang sekaligus telah menerjang dan menyerangnya dengan senjata mereka. Seorang bersenjata tongkat panjang, seorang lagi bersenjata pedang dan orang ke tiga bersenjata joan-pian (ruyung lemas semacam cambuk). Tiga senjata yang amat berbeda sifatnya, amat berbeda pula caranya menyerang, namun ketika maju bersama, ternyata mereka bertiga dapat bekerja sama baik sekali, seakan-akan seorang saja dengan tiga macam senjata, tiga pasang kaki tangan menyerang Kim-mo Taisu!
Pendekar ini berseru kagum, dan tentu saja ia tidak gentar menghadapi serangan tiga orang ini. Kedua tangannya digerakkan, dengan ilmu tangkapnya Kim-na-hoat ia hendak merampas senjata-senjata mereka. Akan tetapi tiga orang itu tidak jadi menyerangnya dan berlari terus ke depan dan pada detik itu juga, pengurung bagian belakang yang menyerang. Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh dan ia kaget melihat betapa tiga orang di bagian belakangnya ini bersenjata persis seperti tiga orang pertama tadi akan tetapi cara mereka menyerang berbeda sungguh pun kerja sama mereka tetap baik.
Karena ia diserang dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa mengelak dan lewatlah berturut-turut pedang, toya, dan cambuk itu di samping tubuhnya. Begitu serangan mereka gagal, tiga orang ini bergerak lari, dan kini tiga orang lain yang berada di belakang Kim-mo Taisu menerjang hebat dengan tiga macam senjata mereka. Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali tiga orang ini dan ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh barisan pengemis!
Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu silat. Melihat hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik sekali, tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi dari pada para pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini. Akan tetapi ia justru ingin melihat bentuk permainan mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia hanya main berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa barisan ini bergerak dan berubah.
Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang terkenal itu. Dia sendiri adalah ahli permainan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan) tentu saja ia tahu dan hafal akan seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Setelah mendapatkan rahasia sumbernya, kiranya barisan ini biasa saja.
"Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar harimau! Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi mangsa harimau, ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai ‘bekerja’, tangan kakinya bergerak cepat, tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan kilat.
Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul bertebangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang anggota barisan itu sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka itu kehilangan senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika melihat betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani turun lagi!
Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, namun menghadapi seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa jika orang muda gila ini memasuki gedung, tentu mereka mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka bertekad untuk mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka berdiri menghadang di depan pintu.
"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat kami bertiga!"
"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku hendak bertemu?"
Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu memperkenalkan namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang namanya di dunia kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu saja sudah mendengar nama besar Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang pengemis muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk Kim-mo Taisu. Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran, dan keadilan. Setelah terbelalak dengan muka pucat, seorang di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu dan berkata, suaranya penuh permohonan.
"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan kami, juga perkumpulan di empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong yang amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk, berarti kami bertiga akan binasa. Karena itu, tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!" tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat dari punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam gedung!
"Twa-suheng...!" dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu dengan mata penuh permohonan.
Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul melainkan seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu berkata, suaranya nyaring dan merdu. "Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk datang menghadap!" Wanita itu lalu membungkuk dengan hormat, tangannya mempersilahkan.
Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena ia memang seorang aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap Kai-ong itu, yang seakan-akan benar-benar seorang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap! Akan tetapi bukan watak Kim-mo Taisu untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa begelak, lalu mengikuti wanita cantik itu memasuki ruangan depan.
Heran sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih itu penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah. Ketika ia mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam, keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke ruangan yang lebih dalam lagi. Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti kamar di dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa wangi.
"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu," wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di depan pintu.
"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat dari pada lantai dan permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang membersihkannya!"
Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini. Ia hanya memandang bingung dan samar-samar tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekhawatiran. Agaknya wanita ini terlalu banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!
Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan. "Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"
Terdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita itu berjalan keluar tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti pakaian pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat dari pada sutera tipis dan halus beraneka warna. Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka keluar dan melihat bahwa ‘tamu agung’ itu adalah seorang jembel yang pakaiannya penuh tambalan, kakinya telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak kaget, berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu.
Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat menghampiri Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata. "Silahkan Khek-koan (tamu) duduk di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."
Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong yang aneh itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang harum sekali yang keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!
"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!" katanya cepat-cepat sambil menjauhkan diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi.
Ngeri ia membayangkan kedua kakinya dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu, yang demikian genit-genit. Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah berlari ke dalam, di mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja ditemani tiga orang wanita muda lain.
Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai pakaian berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula. Wajahnya tampan akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit membayangkan kelicikan.
Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak menimbulkan selera. Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan disodorkan di depan mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan arak ke dalam cawan araknya. Ada pun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis dikerutkan.
Laki-laki itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan menyentuh dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus, akan tetapi suara tetap serak tak sedap didengar. "Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih, daging kelinci ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut si Cantik.
Wanita itu tersenyum paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata, "Pouw-koko (Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak senang dengan keadaan seperti ini."
"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan kepada para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas berlutut dan mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh kepada lima orang wanita cantik itu.
Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata genit. "Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya dan menjadi kesayangan Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja? Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan wanita lain?" Ia menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.
"Benar, tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini datang, kita seperti disia-siakan oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita cantik?"
Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah. "Mana bisa aku dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam kalian?"
"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah." Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh kekasihnya duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka menyambit ke arah dua orang selirnya yang berani membantah itu.
"Aduhhh...! Aduhhh...!!" dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka sambil menjerit-jerit bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka terusuk tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas meja dan tadi dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang wanita itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa membuat mereka pingsan.
"Hayo bawa pergi mereka, lekas!" perintah ini diturut tiga orang wanita yang lain dengan ketakutan. Mereka lalu menggotong kedua orang wanita malang itu keluar dari ruangan.
"Hemm, inikah Kai-ong yang tersohor yang telah menaklukkan seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis), yang secara keji membunuh orang tertua dari Sin-tung Sam-lo-kai tadi, dan kini melukai dua orang selirnya secara ganas pula?" Kim-mo Taisu berkata, suaranya dingin dan pandang matanya kepada Si Raja Pengemis itu penuh ejekan.
Raja pengemis itu bukan lain adalah Pouw Kee Lui yang pernah kita kenal. Seperti kita ketahui, Pouw Kee Lui adalah murid seorang pertapa sakti di pantai Po-hai yaitu pantai laut sebelah timur, yang secara kejam telah membunuh gurunya sendiri karena ia ditegur ketika ia mengganggu isteri orang. Ia memperdalam ilmu dari kitab-kitab simpanan gurunya itu, kemudian mulailah ia merantau dan merajalela mempergunakan ilmunya yang tinggi.
Pertama-tama ia merebut kedudukan ketua di perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Pernah ia bertemu dengan Liu Lu Sian dan hanya karena mengingat bahwa Lu Sian adalah puteri Beng-kauwcu, maka Pouw Kee Lui yang cerdik ini membebaskan Lu Sian. Kemudian semenjak itu, ia memperbesar kekuasaannya dengan menundukkan perkumpulan-perkumpulan pengemis yang ada, lalu mengangkat diri sendiri menjadi Kai-ong atau raja pengemis yang hidup mewah, yang menundukkan siapa saja yang menentangnya dan merampas gadis mana saja yang disukainya.
Wanita baju biru di sebelahnya itu adalah Liong Bi Loan murid yang kemudian diambil sebagai anak angkat oleh guru silat Liong Keng. Ketika gadis ini berkelahi dengan tukang-tukang pukul di rumah judi, kebetulan sekali Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong sedang jalan-jalan ke rumah judi. Melihat gadis cantik ini serta melihat ilmu silatnya yang lumayan, hati Pouw-kai-ong tertarik sekali. Di antara tiga puluh orang lebih selirnya, tidak ada yang memiliki ilmu silat seperti gadis ini. Maka ia lalu turun tangan dan dengan ilmu kepandaiannya yang amat tinggi, ia mengalahkan Bi Loan dan berhasil membuat gadis ini kagum oleh kepandaian silatnya, wajahnya yang tampan, dan sikapnya yang pandai berpura-pura dan memikat hati.
Gadis yang masih hijau ini terjatuh ke dalam perangkap, mereka bermain cinta dan gadis yang tidak tahu bahwa yang ia sangka seorang pendekar sakti itu sebetulnya seorang manusia iblis yang keji. Ia mengikuti Pouw Kee Lui bermain-main ke dalam hutan, dan di dalam sebuah kuil kosong, Si Manusia Iblis Pouw ini berhasil memberi minum arak yang ia campur obat sehingga Liong Bi Loan menjadi mabuk dan dalam keadaan tidak sadar telah menyerahkan dirinya dibawa terjun ke dalam jurang kehinaan oleh Pouw Kee Lui.
Ketika ia sadar, sesal pun tiada gunanya. Nasi telah menjadi bubur! Inilah akibatnya seorang gadis yang membuta saja menurutkan nafsu hati, membuta dalam bercinta sehingga tidak tahu bahwa yang disangka seekor domba sebenarnya adalah seekor serigala. Karena sudah terlanjur, ia hanya bisa menangis dan akhirnya reda juga penyesalannya ketika Pouw Kee Lui membujuk-bujuknya, bersumpah mati-matian akan bersetia kepadanya, akan mengambilnya sebagai isteri, sehidup semati dan lain omongan muluk-muluk lagi.
Terobatilah hati Bi Loan. Ketika pada keesokan harinya ayahnya mendapatkannya di situ, terpaksa ia ikut pulang ayahnya. Dan tentu saja hatinya girang sekali ketika pada malam harinya, Pouw Kee Lui benar-benar datang membawanya pergi dan tentu saja ia ikut pergi dengan sukarela. Lebih baik ikut pergi bersama kekasihnya ini dan sehidup semati menjadi isterinya, dari pada menjadi seorang gadis ternoda yang akan menderita malu seumur hidupnya! Apalagi setelah ia ketahui bahwa kekasihnya itu ternyata adalah seorang yang amat penting, seorang raja, biar pun hanya rajanya pengemis! Dan melihat selir ‘suaminya’ begitu banyak, ia menjadi tidak senang dan minta kepada suaminya untuk menghalau semua selir itui, yang juga diturut oleh Pouw Kee Lui, kecuali lima selir yang tadi melayani mereka makan minum. Demikianlah keadaan singkat Si Raja Pengemis yang lihai itu.
Ketika Pouw-kai-ong mendengar kata-kata Kim-mo Taisu yang penuh teguran, ia mengangkat muka memandang. Mulutnya tersenyum sinis, pelupuk matanya bergetar sedikit, kemudian terdengar suaranya yang serak, "Kim-mo Taisu, apakah kau mendapat nama besar itu karena kesukaanmu mencampuri urusan dalam rumah tangga orang lain? Kubunuh Lo-kai, itu adalah urusan kai-pang kami. Kubutakan mata kedua orang selirku, itu adalah urusan keluargaku sendiri."
"Tidak peduli... tidak peduli..., aku hanya seorang tamu, aku tidak peduli akan segala urusanmu yang busuk!" Kim-mo Taisu menggoyang-goyang tangannya.
"Heh-heh, itu baru ucapan seorang gagah. Nah, kau menjadi tamuku, seorang tamu agung harus disambut dengan arak wangi dan hangat!" Raja pengemis ini menuangkan arak ke dalam mangkok itu dan berseru. "Silakan!"
Sekali ia menggerakkan tangan, mangkok penuh berisi arak itu melayang cepat sekali seperti peluru menuju ke arah dada Kim-mo Taisu, tanpa araknya tumpah sedikit pun. Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat tangan kirinya. Begitu tangannya bergerak, ia sudah menerima mangkok itu di atas telapak tangan kirinya, di mana mangkok itu kini berdiri dan sedikit pun tidak ada arak yang muncrat dari dalamnya. Diam-diam ia kagum juga karena tenaga sambaran mangkok itu amat kuat, tanda bahwa penyambitnya memiliki sinkang yang hebat. Di lain pihak, Pouw-kai-ong juga kagum. Menerima sambitannya semangkok penuh arak, tanpa tergoyang sedikit pun badannya, tanpa mucrat setetes pun araknya, mungkin jarang didapatkan keduanya.
“Hebat Kim-mo Taisu ini,” pikirnya dan otaknya yang cerdik sudah diputar-putar untuk mencari akal.
Sementara itu, Kim-mo Taisu sudah menenggak habis arak di dalam mangkok dengan tenang, mengecap-ngecapkan lidahnya dan mengangguk-angguk sambil memandang ke arah mangkoknya yang sudah kosong. "Arak baik... hemm, arak yang baik sekali. Terima kasih, Kai-ong, ini kukembalikan mangkokmu!" Tiba-tiba tangannya bergerak dan mangkok itu sudah ia sentil dengan jari telunjuknya.
"Tinggg!!" mangkok kosong itu kini melayang ke arah Pouw-kai-ong, akan tetapi melayang sambil berputar seperti gasing. Pouw-kai-ong tersenyum dan mengangkat tangannya menyambut sambaran mangkok kosong.
"Brakkk!!" mangkok kosong itu begitu menyentuh tangannya, lalu pecah berantakan!
"Aiihhh!!" Pouw-kai-ong terloncat kaget. Mukanya menjadi merah sejenak, matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya menegang, jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar harimau.
Kim-mo Taisu tersenyum saja dengan tenang, menanti segala kemungkinan. Akan tetapi, lambat laun muka raja pengemis itu menjadi pucat kembali seperti sediakala, bukan pucat berpenyakitan, melainkan pucat karena latihan lweekang tertentu. Mulutnya masih tersenyum sinis dan tangannya membuat gerakan mempersilakan tamunya duduk.
"Heh-heh, tamu agung yang hebat! Kim-mo Taisu, namamu terkenal dan ternyata bukan kosong belaka. Silakan duduk!"
Kim-mo Taisu melangkah menghampiri meja dengan sikap masih tenang, mata tiada lepas dari gerakan raja pengemis itu. Ia kemudian menarik bangku dan duduk. "Terima kasih, Kai-ong."
Kembali Pouw-kai-ong menuangkan arak ke dalam mangkok sampai penuh. Mangkok itu ia letakkan di atas telapak tangan kanannya dan ia mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, disalurkan melalui tangan kanan terus menjalar ke mangkok arak. Sebentar saja arak di dalam mangkok itu bergolak mendidih dan beruap! Inilah hawa sinkang yang bukan main tingginya!
"Silakan minum, Kim-mo Taisu!" katanya tersenyum sinis seraya menyodorkan mangkok arak mendidih itu kepada tamunya.
Kim-mo Taisu menjadi kaget, kagum dan juga mendongkol. Harus ia akui bahwa demonstrasi hawa sinkang yang diperlihatkan raja pengemis itu memang hebat dan hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang akan mampu melakukannya. Akan tetapi, orang lain boleh merasa jeri, baginya demonstrasi itu hanyalah permainan untuk menakuti anak kecil! Sambil tersenyum pula ia mengulur tangan menerima mangkok arak mendidih itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Aneh tapi nyata. Begitu mangkok arak mendidih itu berada di telapak tangan Kim-mo Taisu, mendadak uapnya hilang dan arak itu tidak bergolak mendidih lagi!
"Terima kasih, sayang arakmu dingin," kata Kim-mo Taisu sambil menuangkan arak ke mulutnya, tetapi arak itu tidak mau keluar dari mangkok karena ternyata telah membeku! Inilah demonstrasi yang lebih hebat lagi, menggunakan sifat dingin dari tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sambil tersenyum lebar Kim-mo Taisu meletakkan mangkok itu ke atas meja dan memandang tuan rumah.
Agak berubah air muka yang pucat dari raja pengemis itu. Telah dua kali ia menguji dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian tamunya benar-benar hebat, maka ia harus berlaku hati-hati sekali. "Kim-mo Taisu, keperluan apakah yang membawamu datang mencari aku?"
Kim-mo Taisu menyambar mangkok arak dan meneguknya habis, lalu mengangguk-angguk dan menjilati bibirnya. "Arak baik, arak baik...!"
Pouw-kai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau setan arak. Minumlah!" Ia melemparkan seguci arak ke arah Kim-mo Taisu. Lemparan ini kuat bukan main karena disertai tenaga lweekang, sedangkan jarak antara mereka dekat saja, hanya terpisah sebuah meja.
Namun dengan enaknya Kim-mo Taisu menerima guci arak itu dan terus menggelogoknya langsung tanpa cawan atau mangkok lagi. Setelah lima enam mangkok arak memasuki perutnya, baru ia berhenti dan meletakkan guci arak di atas meja.
"Pouw-kai-ong, kebetulan sekali aku berkenalan dengan Liong-kauwsu (Guru Silat Liong) di Sin-yang dan karena tidak tahan mendengar tangis seorang ayah kehilangan puterinya, maka aku datang kesini mencarimu."
"Aaahhhh....!" wanita cantik baju biru yang sejak tadi duduk tenang menonton pertunjukan ilmu yang hebat itu, kini berseru tertahan, wajahnya berubah pucat.
Akan tetapi Pouw Kee Lui tertawa mengejek. "Kim-mo Taisu, setelah sekarang kau dapat bertemu denganku, apa yang kau kehendaki?"
"Orang she Pouw, kau telah menculik puteri Liong-kauwsu. Sekarang harap kau memandang mukaku dan mengembalikan puterinya itu. Kalau tidak... ha-ha-ha, terpaksa aku lupa bahwa aku telah kau suguhi arak yang baik!"
Pouw Kee Lui juga tertawa. "Heh-heh-heh, aku pun menyuguhi arak padamu sama sekali bukan dengan maksud menyuap." Ia lalu bangkit berdiri dan memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya. "Kim-mo Taisu, perkenalkan. Inilah isteriku yang bernama Liong Bi Loan, puteri Liong-kauwsu dari Sin-yang!"
"Is... terimu....?" Kim-mo Taisu terkejut dan heran.
"Moi-moi kekasihku, kau katakanlah kepada Kim-mo Taisu, benarkah bahwa aku menculikmu?"
Dengan muka berubah menjadi merah sekali karena jengah, wanita itu memandang Kim-mo Taisu dan berkata, "Aku pergi mengikutinya dengan sukarela, urusan kami berdua ini apa sangkut pautnya dengan orang luar?"
Kim-mo Taisu memandang terbelalak kepada wanita itu. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa ia akan menghadapi hal seperti ini, tak mengira bahwa urusan akan menjadi begini. Kalau ia tahu sebelumnya, tentu saja ia tidak sudi ikut mencampuri. Dapat ia menduga bahwa wanita ini telah terpikat oleh Pouw-kai-ong, telah jatuh cinta atau juga karena takut. Akan tetapi wajah yang cantik itu sama sekali tidak membayangkan rasa takut, jadi terang bahwa wanita ini telah jatuh cinta kepada Si Raja Pengemis!
Tentu saja Kim-mo Taisu tidak tahu apa yang telah terjadi, tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan karena takut atau cinta, melainkan karena sudah terlanjur terjun ke dalam lumpur kehinaan maka wanita itu terpaksa mengikuti Pouw Kee Lui!
Saking malu dan mendongkol, Kim-mo Taisu menepuk kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Wajahnya kehilangan senyumnya, seperti orang gila ketika ia berkata, "Cinta memang aneh! Pouw-kai-ong, pada detik ini juga aku menyatakan lepas tangan tentang urusanmu dengan puteri Liong-kauwsu. Akan tetapi mendengar bahwa kau telah merampas kedudukan semua perkumpulan pengemis dan betapa tanganmu dengan ganas merenggut nyawa para pimpinannya, aku menduga bahwa kau tentu memiliki tangan maut yang lihai. Maka, setelah aku datang, biarlah aku merasai kelihaian tangan mautmu itu. Kau yang menentukan, di dalam ruangan ini atau di luar!"
Inilah tantangan blak-blakan! Orang gagah paling pantang menolak tantangan. Wajah Pouw Kee Lui yang biasanya pucat itu kini menjadi merah dan sejenak matanya menyinarkan pancaran kilat karena marahnya. Akan tetapi mulutnya tersenyum sinis dan matanya lalu bergerak-gerak melirik ke kanan ke kiri membayangkan kecerdikan otaknya.
Selama ini ia sudah bersekutu dengan banyak orang pandai untuk bersama-sama meruntuhkan Kerajaan Tang Muda. Di antara sekutunya itu terdapat Ban-pi Lo-cia tokoh Khitan yang menganggap Kerajaan Tang Muda sebagai musuh. Dari Ban-pi Lo-cia inilah ia mendengar tentang kehebatan kepandaian Kim-mo-eng yang kini berjuluk Kim-mo Taisu. Kalau Ban-pi Lo-cia yang demikian lihainya memuji kepandaian seseorang, maka ia harus waspada menghadapi orang itu. Apalagi tadi ia pun sudah membuktikan sendiri kehebatan sinkang dari manusia sinting ini. Dan sungguh kebetulan sekali, dalam beberapa hari ini ia sudah berjanji akan mengadakan pertemuan dengan para sekutunya di Puncak Tapie-san. Maka ia lalu menahan kemarahannya, berkata dengan senyum lebar.
"Bagus! Aku pun sudah lama mendengar akan kehebatanmu dan ingin sekali merasai pukulan tanganmu. Akan tetapi kau dapat melihat sendiri, aku adalah... heh-heh, masih pengantin baru! Bagaimana aku dapat mengotori suasana meriah dengan isteriku tersayang ini dengan pertandingan? Isteriku tentu akan merasa gelisah setengah mati! Kim-mo Taisu, kalau kau memang jagoan dan tidak menyesal dengan tantanganmu, biarkan aku beristirahat selama tiga hari untuk mengumpulkan tenaga, kemudian tiga malam berikut ini aku akan menantimu di puncak gunung ini, di mana kita akan dapat bertanding sepuas hati kita tanpa mengganggu isteriku. Bagaimana, apakah kau berani?"
Kim-mo Taisu tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu mencari alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak digunakannya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah, aku pergi!"
Setelah itu Kwee Seng melenggang keluar dari ruangan itu, terus berjalan dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata pengemis yang tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang berani menantang Kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan seenaknya!
"Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersemedhi di bawah pohon. Kedua kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya, semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhunya.
Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang sama sekali tidak pandai ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan. Anak ini dapat juga menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang yang tidak terlatih ilmu silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata yang bersinar-sinar itu.
"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan menghilangkan lelah."
Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan gurunya, meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang tindih.
"Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang panjang...." Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi contoh.
Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus menarik napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.
"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu ulangi sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."
Otomatis Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil masih bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut, menahannya ke tengah pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai napas. "Kau umpamakan napasmu seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat menunggang naga itu. Kau biarkan dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus kau tunggangi, jangan lepaskan sedikit pun juga, akhirnya kau tentu akan mampu menguasai dan menaklukannya," demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk.
Kemudian ia mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera dipusatkan ‘menunggang naga’. Inilah inti pelajaran ilmu bersemedhi, dan siulian atau semedhi ini pula menjadi dasar pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengira bahwa gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi.
Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang muridnya terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru saja tiba setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersemedhi, sungguh pun baru saja dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!
"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya.
Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar, tidak merasakan kelelahan lagi.
"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."
"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?"
"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu, tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung goresan yang bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus menggunakan pernapasanmu untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot itu untuk menerobos ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan engkau menulis huruf indah."
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri, akan tetapi diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang tidak mau belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian, sinar matanya memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat, memiliki bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata itulah, yang membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul pundak muridnya dan berkata halus.
"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kau lakukan ketika kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga malam."
"Baiklah, Suhu."
Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan hati girang ia mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap mengharum itu. Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda, nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap ke dalam telinganya seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan tak dapat pula ia mempertahankan diri. Buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh disusul tubuhnya jatuh pula dari atas pohon!
Untung baginya, pohon itu tidak terlalu tinggi. Juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan dahan di sebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah, Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi, suara itu masih terngiang di telinganya, membuat kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit. Betapa pun ia menahan dan menutupi telinganya dengan kedua tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk jarum.
Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari ke tempat suhunya, namun suara kelenengan itu makin keras. Kini ia sudah bangkit berdiri lagi. Tiba-tiba ia teringat akan nasehat suhunya, "Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak akan mampu mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya hawa pernapasan.
Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan pula segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi satu dan memaksa diri ‘menunggang naga’ seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk suhunya. Sebentar saja anak yang bertekad membaja ini telah berhasil ‘tenggelam’ ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai daya mukjijat tadi! Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk karena telinga itu telah ditinggalkan ‘penumpangnya’ atau penjaganya yang sedang seenaknya menunggang naga!
Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak menghadapi bahaya suara mukjijat itu, maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhunya.....
 Jilid 18»

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)