SULING EMAS : JILID-16
Liong Keng seorang guru silat yang terkenal. Walau pun merupakan guru
bayaran, namun dalam menerima murid ia tidak asal menerima orang yang
mampu membayar saja. Ia memilih calon murid yang berbakat dan yang
berkelakuan baik-baik, bahkan banyak di antara muridnya yang karena
miskin tidak perlu membayarnya. Ada seorang murid perempuan, anak
seorang janda miskin yang amat dikasihinya sehingga ketika janda itu
meninggal dunia, murid perempuan yang bernama Bi Loan itu ia pungut
sebagai puterinya, karena guru silat itu sendiri memang tidak mempunyai
keturunan.
Jilid 17»
Bi Loan menjadi murid yang pandai dan anak yang berbakti. Wajahnya cukup
cantik sehingga guru silat itu tentu saja mengharapkan mantu yang
pantas. Sebagai seorang gadis yang pandai silat, puteri Sin-kauw-jiu
Liong Keng, Bi Loan bukanlah gadis pingitan yang selalu berada di dalam
kamarnya. Ia sudah biasa keluar pintu, bahkan biasa pula menggunakan
kepandaiannya untuk membela si lemah yang tertindas. Tidak ada orang
yang berani mencoba-coba mengganggunya. Selain gadis itu sendiri pandai
silat, juga orang merasa sungkan bermusuhan dengan Sin-kauw-jiu Liong
Keng dan murid-muridnya yang banyak jumlahnya.
"Akan tetapi, sepekan yang lalu," demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya. "Bi Loan memasuki sebuah tempat judi karena tertarik. Di tempat itu tentu saja berkumpul banyak penjahat dan di situ pula Bi Loan mendengar ucapan kurang ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang-langgang. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang pengemis muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian jembel. Ia tidak terkenal dan menurut cerita mereka yang menyaksikan kejadian itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela para penjahat tadi. Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan diri sambil menyindir-nyindir. Bi Loan marah dan mengejar, sebentar saja mereka lenyap dari tempat itu...," sampai di sini guru silat itu berhenti bercerita dan menarik napas panjang.
"Lalu bagaimana?" Kwee Seng tertarik.
"Tak seorang pun yang tahu ke mana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari semalam Bi Loan tidak pulang. Aku menjadi khawatir dan pada keesokan harinya aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi Loan di dalam sebuah kuil kosong di hutan sebelah barat kota...."
Melihat wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga. "Dan pengemis itu?"
"Dia tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali. Anakku itu dengan sikap yang aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah menjadi isteri Kai-ong!"
"Kai-ong (Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.
“Demikianlah pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah dan memaksanya pulang karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan setibanya di rumah, ia hanya menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali menyatakan hendak ikut Kai-ong! Malam harinya, tiga hari yang lalu, di depan hidungku sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, bangsat itu datang dan membawa pergi Bi Loan!"
"Apa? Bagaimana terjadinya?" Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya sudah lumayan. Kalau laki-laki muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu saja, itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian jembel muda itu tentulah hebat!
"Sungguh aku harus merasa malu. Sudah menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, tapi aku sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang penjahat tak ternama seperti dia. Aku harus tutup perguruanku!"
"Suhu...!" lima orang murid kepala berseru.
"Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?" guru silat itu menghela napas. "Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku mau pun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya ke luar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar puteriku berkata ‘Selamat tinggal, Ayah’ dan melihat berkelebatnya bayangan itu di atas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa! Kemudian menghilang di dalam gelap...!"
Makin kagum hati Kwee Seng. Selama ini baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang muda yang berkepandaian hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda lain yang menyebut diri raja pengemis yang demikian lihai!
"Nah, selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan penyelidikan, akan tetapi bukannya mengetahui di mana sembunyinya penjahat yang menculik anakku, malah berani berlaku kurang ajar kepadamu. Betapa pun juga, hal ini kuanggap kebetulan sekali, karena kalau tidak kau sahabat muda, siapa lagi yang dapat mencuci bersih namaku ini?" suara guru silat itu terdengar sedih sekali, penuh permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan telah banyak berkurang semangatnya begitu menderita kekalahan.
"Baiklah, Lo-enghiong," Kwee Seng menyanggupi. "Mendengar ceritamu, aku jadi ingin sekali bertemu dengan raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan dapat menemukannya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul dia itu telah memilih si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu kau sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara...," perih hati Kwee Seng berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang berkali-kali menjadi korban asmara jahil!
Liong Keng menghela napas dan mengangguk-angguk. "Dia bukan keturunanku sendiri, bagaimana aku bisa mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian tidak menghendaki aku mempunyai keturunan."
Setelah menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee Seng lalu berpamit dan pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat menarik hatinya... si Raja Pengemis!
********************
Dua orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka yang berkepala botak bertanya serius, "Dari mana mau ke mana?"
Pertanyaan singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia tertawa dan menjawab seenaknya, "Dari belakang mau ke depan!"
Sejenak kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka tertawa bergelak. Orang ke dua yang hidungnya bengkok ke atas kemudian menghardik. "Jembel kapiran! Hayo lekas pergi, di sini bukan tempat kau mengemis!"
"Tempat apa sih ini?" Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting.
"Di sini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo lekas minggat, apa kau ingin kupukul mampus?" bentak si Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar kepala Kwee Seng itu di depan hidung si Pendekar Sakti.
"Waduh, tanganmu bau kencing kuda!" Kwee Seng menutupi hidungnya.
Kwee Seng lalu menjauhkan mukanya dan memandang kepada papan nama di depan pintu, mengerutkan keningnya dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu otomatis menarik kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya tangannya itu memang bau karena hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat. Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan, akan tetapi sebelum ia sempat memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran karena pengemis itu sudah membaca papan nama dengan suara keras, "Ban Hwa Po Koan” (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah, kebetulan sekali, aku paling gemar berjudi!"
Sekaligus kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel pandai membaca huruf, dan mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula? "Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta, bagaimana kau bisa berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek si Botak dan kedua orang penjaga pintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut.
Mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka melotot lebar memandang tangan Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang perak yang berkilauan! "Apakah modal sekian ini kurang cukup?"
Dua orang itu menelan ludah, menaksir-naksir bahwa kantung itu isinya tidak kurang dari seratus tail perak. Kemudian mereka mengangguk-angguk. "Cukup... cukup... silakan masuk...!"
Kwee Seng menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung ia melangkah masuk, diawasi dua orang penjaga yang terheran-heran. Akan tetapi Kwee Seng tidak mempedulikan mereka, terus saja melangkah masuk ke dalam ruangan yang cukup luas, di mana terdapat banyak orang mengelilingi beberapa buah meja judi. Ngeri hati Kwee Seng ketika menyaksikan orang-orang yang berjudi. Bukan seperti wajah manusia lagi, melainkan seperti sekelompok binatang kelaparan. Muka penuh peluh, berkilauan basah, mata melotot dan seluruh uratnya menegang. Sinar mata penuh kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang kehabisan uang kelihatan putus asa, penasaran, dendam, dan iri.
“Tempat setan dan iblis berpesta-pora,” pikir Kwee Seng. Hawa udara terasa panas di dalam Rumah Judi Selaksa Bunga itu. Panas luar dalam. Luar panas karena kurang hawa, dalam panas karena pengaruh uang.
Kwee Seng menghampiri meja tengah yang paling besar dan paling ramai. Semua meja adalah meja permainan dadu. Meja tengah juga tempat bermain dadu, akan tetapi di sini agaknya tempat istimewa di mana taruhannya amat besar. Uang perak bertumpuk-tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas.
Yang mainkan dadu adalah seorang laki-laki kurus bermata sipit seperti selalu terpejam. Orang itu usianya empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung sampai ke siku. Gerakan kedua tangannya cepat sekali ketika ia memutar biji-biji dadu di dalam mangkok, kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok itu ke atas meja dengan biji-biji dadu di bawah mangkok.
Mulailah orang-orang memasang nomer yang ia duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika pemasangan selesai, dengan gerakan tangan cepat sekali pemain itu membuka mangkok, maka tampaklah dua biji dadu di atas meja dengan permukaan memperlihatkan titik-titik merah. Jumlah titik-titik inilah merupakan angka yang keluar.
Bagi yang pasangannya kena, mendapat jumlah taruhannya yang diterima dengan wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Bagi yang kalah, dan sebagian besar memang kalah, mereka hanya melihat dengan mata sayu betapa tumpukan uang taruhan mereka digaruk oleh si Bandar yang tertawa-tawa lebar. Agaknya yang nasibnya mujur adalah selalu si Bandar, buktinya yang mendapat atau yang pasangannya terkena selalu hanya yang memasang kecil, sebaliknya yang taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya!
Kedatangan Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang semua perhatian ditujukan ke atas meja. Setelah melihat tiga empat kali pasangan melalui pundak orang-orang yang bertaruh, Kwee Seng mendesak maju. Dengan lagak dibuat-buat ia mengeluarkan pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya di atas meja dengan keras. Jelas tampak bahwa pundi-pundi itu isinya berat dan banyak, maka tertegunlah semua orang. Yang merasa pasangannya hanya kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga akhirnya Kwee Seng dapat duduk berhadapan dengan si Bandar Judi. Pundi-pundi itu belum dibuka, maka si Bandar yang kurus itu memandang tajam dengan mata sipitnya.
"Pasangan dengan uang tunai. Apakah anda punya uang?" tanya si Bandar dan diam-diam ia merasa heran mengapa penjaga pintu memperkenankan seorang jembel masuk ruangan itu.
"Heh-heh-heh, kalau tidak punya uang, tentu aku tidak akan berjudi!" Kwee Seng membuka pundi-pundinya dan terdengar seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi pundi-pundi oleh mereka. "Tapi aku tidak sudi berjudi kecil-kecilan. Aku ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap, dengan hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"
Kembali orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini, menantang bandar! Ban-hwa Po-koan adalah rumah judi besar, orang-orang yang menjadi bandar adalah ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini tersenyum-senyum memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi tikus.
"Mengapa tidak berani? Berapa uangmu dan berapa akan kau pertaruhkan?"
"Isi pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail, kupertaruhkan semua!"
Ramai sekali terdengar seruan kaget ketika para penjudi mendengar ucapan ini. Sekali pasang seratus dua puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila yang dapat melakukan hal ini! Bahkan si Bandar Kurus itu sendiri menjadi basah penuh keringat karena betapa pun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan yang begini hebat. Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepalanya seperti orang mencari kutu rambut.
"Eh, Muka Tikus, berani tidak kau?" akhirnya ia berkata kesal melihat bandar itu hanya memandang kepadanya.
Ada yang tertawa geli, ada pula yang khawatir mendengar jembel itu berani menyebut muka tikus kepada bandar. Apalagi ketika mereka melihat betapa empat orang tukang pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap tubuhnya, diam-diam mendekati Kwee Seng dan berdiri di belakang si Jembel ini sambil saling memberi tanda dengan mata, siap untuk menerjang kalau perlu.
"Apa? Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau bertaruh genap atau ganjil?"
Si Bandar menyisihkan sebuah dadu yang bermuka enam, memasukkannya ke dalam mangkok yang telentang di atas meja. Suasana menjadi tegang, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara. Mereka menanti jawaban Kwee Seng sehingga keadaan menjadi sunyi, dan agaknya sebuah jarum yang jatuh ke lantai akan terdengar pada saat itu.
Kwee Seng masih tersenyum-senyum dan ia mendorong pundi-pundinya ke depan. "Seratus dua puluh tail perak kupasangkan untuk angka ganjil!" katanya nyaring.
Si Bandar tertawa, hatinya girang bukan main karena tiba-tiba ada makanan begini lunak tersodor di depan mulutnya. Jari-jari tangannya sudah terlatih sempurna sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat mempergunakan dua jari telunjuk dan tengah yang berada di belakang mangkok untuk membalik-balik biji dadu di waktu ia menutup atau membuka mangkok, tanpa seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan ini sudah ia lakukan bertahun-tahun dan tak pernah ada yang tahu.
Dengan jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik dua biji dadu sesuka hatinya, apalagi kalau hanya sebuah! Alangkah mudahnya. Tiap kali ia menutup mangkok, matanya yang seperti terpejam itu sekelebatan dapat melihat angka yang berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu membuka mangkok, cepat jari-jari tangannya yang memegang mangkok dan tersembunyi di belakang mangkok bekerja membalik biji-biji dadu menjadi angka-angka yang hanya dipasangi taruhan-taruhan kecil. Dengan cara demikian, selalu pemasang taruhan besar akan kalah.
Sekarang jembel gila ini bertaruh angka ganjil untuk sebuah biji dadu. Alangkah mudahnya untuk membalikkan biji dadu itu agar permukaannya yang genap berada di atas untuk memperoleh kemenangan seratus dua puluh tail. Alangkah mudahnya!
"Baik!" katanya. "Semua orang di sini menjadi saksi. Kau memasang angka ganjil!"
Kemudian ia menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi lagi, dan memutar-mutar dadu ke dalam mangkok. Gerakannya cepat sekali sehingga dadu yang berputaran di dalam mangkok itu tidak kelihatan lagi saking cepatnya, kemudian dengan gerakan tiba-tiba, ia membalikkan mangkok ke atas meja dengan biji dadu di bawahnya.
"Heh-heh-heh!" si Bandar mengusap peluh di dahinya. "Apakah kau tidak merobah pasanganmu? Tetap ganjil? Boleh pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak memilih. Ganjil atau genap?"
Suasana makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin Kwee Seng menaruh kedua tangannya di atas meja, di depannya. Tenang-tenang saja ia menjawab, "Aku tetap memasang angka ganjil!"
Si Bandar dengan tangan agak gemetar memegang mangkok, mulutnya berkata, "Nah, siap untuk dibuka, semua orang menjadi saksi!" Jari-jarinya bergerak dan mangkok diangkat, dibarengi seruan Si Bandar. "Heeeeeiiitt!"
Semua mata memandang kepada biji dadu yang telentang, jelas memperlihatkan lima buah titik merah.
"Ganjil...!" semua mulut berseru.
"Aaahhhhh....!" Si Bandar menjadi pucat, berdiri terlongong keheranan memandang ke arah biji dadu, hampir tidak percaya kepada matanya sendiri.
Tadi ketika menutup mangkok, jelas ia dapat mengintai bahwa dadu itu tadi berangka lima, maka ketika membuka mangkok, telunjuknya sudah menyentil dadu itu agar membalik ke angka enam atau empat. Akan tetapi mengapa dadu itu tetap telentang pada angka lima, padahal ia yakin betul bahwa sentilan jarinya tadi berhasil baik? Apakah kurang keras ia menggunakan jarinya?
"Heh-heh-heh, apakah kemenanganku hanya cukup kau bayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar seratus dua puluh tail!" kata Kwee Seng tertawa-tawa.
Empat orang tukang pukul sudah siap dengan tangan di gagang golok, akan tetapi bandar itu tidak memberi tanda, maka mereka tidak berani turun tangan. Bandar itu menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap peluh yang memenuhi muka dan lehernya, kemudian ia tertawa.
"Heh-heh-heh... tentu saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan tetapi, apakah kau termasuk botoh kendil?"
Kwee Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya istilah ‘botoh kendil’ ini. Botoh berarti penjudi, ada pun kendil adalah perabot dapur untuk masak nasi. Ia mengerutkan kening, mengira istilah itu merupakan makian. "Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa jembel ini bukanlah seoarang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan malah menang?
"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan, termasuk golongan yang licik!" jawab si bandar yang juga terheran-heran.
Kwee Seng tertawa, tidak jadi marah. "Wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi kekalahan? Jangan khawatir, Tikus, aku tidak akan lari. Hayo bayar dulu kemenanganku!"
Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring. "Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!" Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar.
Perjudian di dalam ruangan itu seakan-akan menjadi terhenti sama sekali. Semua penjudi kini menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan si Bandar bermata sipit. Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal si Jembel! Kalau tadi ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.
"Bagus! Kau memang benar-benar penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.
"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol," Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi dadu yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di depan dadanya.
Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi di atas meja menyembunyikan dadu di bawahnya. "Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan semua orang!" si Bandar berkata, suaranya agak gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Jembel ini tidak merobah taruhannya.
"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!" Kwee Seng berkata tenang tapi cukup jelas.
Muka si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan. "Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti kalah!"
Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.
"Wah, ganjil lagi...!!" seru semua orang dan si Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!
"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? Semua orang melihat jelas bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"
Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele. "Ini... ini tak mungkin... bagaimana bisa ganjil lagi...?" Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap si Jembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.
"Hayo bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar lagi?"
Selagi si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!
"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis tua itu.
Heran tapi nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan dengan Kwee Seng!
"Baiklah, Pangcu," kata si Bandar.
Mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek itu penuh perhatian. Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya, sedangkan kedua tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya.
Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah menggunakan tenaga lweekang-nya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa lweekang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap atau membalik sesuka hatinya. Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundi-pundi uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail!
Setelah membayar, si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian karena ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung-jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik ke arah kakek itu, si Kakek berkata perlahan. "Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana nasib baik orang muda ini."
Mendengar ini, si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa si Kakek hendak membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser dari pundaknya.
Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota. Kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa Po-koan karena sesungguhnya terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa Kai-pang. Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan para tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan), ketua Ban-hwa Kai-pang, menjadi ketakutan akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini mereka menjadi besar hati.
Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?"
Keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang dari pada tadi. Semua orang yang berada di situ, biar pun sebagian tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi. Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di dalam rumah judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.
Sambil melirik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil berkata, "Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si Bandar mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda dengan mata supaya si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua. Dengan gerakan hati-hati si Bandar menangkap pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai ke jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu membantunya dengan tenaga sinkang.
"Siap Buka... heeiittt! Aduuhhh...!" si Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh hawa sinkang si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.
"Ganjil lagi...!"
“Hebat...!!" Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga!
Diam-diam si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang sembarangan. Ia maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan dorongan berhawa sinkang dari jari-jari tangan, mencegah si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan!
Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah kakek. Ia jelas merasa gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata, "Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang, tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"
Mendengar ini, si Bandar dan para pembantunya segera sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar! Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil keuntungan rumah judi itu selama beberapa hari!
Orang-orang di situ makin terheran-heran. Mereka melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi raja uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail perak, agaknya masih belum puas. Buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu.
Kini kakek pengemis itu yang bertanya. "Sahabat muda, masih berani melanjutkan?"
Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri. "Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis. Cepat-cepat ia menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng.
"Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi langganan baik," kata si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.
"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi," kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik... ha-ha-ha, hayo teruskan permainan!"
Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, si Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh, terhuyung-huyung sampai jauh.
"Ha-ha-ha, memang dia sedang sialan!" Kwee Seng menertawakan.
Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik. "Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!" seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan. Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kau mainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kau kehendaki? Tentu bukan kemenangan uang," kata si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada kalau diputar oleh si Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga.
"Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee Seng mengangguk. "Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya Kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan apakah dengan Kai-ong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kau terima?"
Kakek itu mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga dari pada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kau dapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kau bayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kau bawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya Kai-ong. Akur?"
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu si Jembel menolak.
Akan tetapi Kwee Seng mengangguk dan berkata, "Cocok!"
“Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang Kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi?!” demikian pikir sebagian besar orang di sana.
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib si Jembel dan tangan kirinya. Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.
Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru. "Siap buka, lihatlah!"
Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu, jari-jari tangan kiri Kwee Seng juga menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sinkang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin karena begitu tadi mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau terloncat ke luar dari tempatnya.
Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyong ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah.
Ada pun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi miring!
"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras?” terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapa pun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu tenaga sinkang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sinkang.
Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!" teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya menuju Kwee Seng.
Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan. Sebelum mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali, kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara karena ‘terjepit’ di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu?”
Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sinkang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan biar pun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya.
Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata, "Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...!"
Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu, empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini. Namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak ada arti baginya, dan karena ia sedang mengerahkan sinkang sehingga seluruh tubuhnya terlindung, ia pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, dan tiba-tiba....
"Wuutttt!" senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat.
Saking hebatnya tenaga membalik, tanpa dapat dicegah lagi golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi. Bukan kepala Kwee Seng yang termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biar pun tidak tajam, namun punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka ‘bocor’ dan tumbuh tanduk biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung Tiang-lo ke belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa, lalu menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan, sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangan menjura kepada Kwee Seng. "Sicu (Orang Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan Kai-ong. Di lereng sebelah utara Tapie-san, di mana Kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee Seng tersenyum dan menjura. "Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat mengempit dan membawanya seakan-akan amat ringan.
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku ke luar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus.
Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut ke luar, dan tentu saja tidak semua dari mereka menderita kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula ke luar. Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-saudara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!"
Tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih! Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san.
"Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi.
Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya. Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong Keng! "Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi ‘kuliah’ oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri di depannya dengan pandang mata penuh perhatian.
Kwee Seng tertawa lagi. "Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kau katakan, mengapa perbuatanku tadi kau katakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?”
"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan dengan wejangan ini." Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
Diri sendiri melakukan kejahatan
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?
Kwee Seng melongo. "Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!" ia mengenal sajak itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.
Bu Song mengangguk. "Aku membacanya dari kitab. Kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin tertarik. "Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu ‘anak sinting’.
Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya. "Anak baik, coba kau jelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung dari pada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci mana pun juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini ‘ngoceh’ tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala macam nasehat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain dari pada belajar sendiri! Oleh karana itu, perbaikilah dirimu sendiri sebelum engkau memperbaiki orang lain."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau semua orang masing-masing belajar memperbaiki diri sendiri, maka apa perlunya segala macam nasehat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasehati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasehat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling...."
"Hahhh...? Apa kau bilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri ketika pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku. "Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kau anggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu Song menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam mau pun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan. Ada pun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu.
Kembali ia menghela napas dan berkata, "Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Semenjak perantauannya, baru kali ini ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaannya. Andai kata dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian....!
Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini. Kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
Lima warna membutakan mata
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!
Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali, Paman, terutama isi sajaknya!"
Kwee Seng tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"
Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata. "Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To, bukan?"
Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman."
"Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa she-mu (nama keturunan)?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan."
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau, Paman."
"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau juga tidak mempunyai tempat tinggal?"
Bu Song mengangguk!
"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?" Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?"
Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab, "Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman. Aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biar pun dengan penuh sesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran. Ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
“Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini,” pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi 'Kim-mo Taisu', lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama To!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.....
"Akan tetapi, sepekan yang lalu," demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya. "Bi Loan memasuki sebuah tempat judi karena tertarik. Di tempat itu tentu saja berkumpul banyak penjahat dan di situ pula Bi Loan mendengar ucapan kurang ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang-langgang. Akan tetapi tiba-tiba muncul seorang pengemis muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian jembel. Ia tidak terkenal dan menurut cerita mereka yang menyaksikan kejadian itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela para penjahat tadi. Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan diri sambil menyindir-nyindir. Bi Loan marah dan mengejar, sebentar saja mereka lenyap dari tempat itu...," sampai di sini guru silat itu berhenti bercerita dan menarik napas panjang.
"Lalu bagaimana?" Kwee Seng tertarik.
"Tak seorang pun yang tahu ke mana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari semalam Bi Loan tidak pulang. Aku menjadi khawatir dan pada keesokan harinya aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi Loan di dalam sebuah kuil kosong di hutan sebelah barat kota...."
Melihat wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga. "Dan pengemis itu?"
"Dia tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali. Anakku itu dengan sikap yang aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah menjadi isteri Kai-ong!"
"Kai-ong (Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.
“Demikianlah pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah dan memaksanya pulang karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan setibanya di rumah, ia hanya menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali menyatakan hendak ikut Kai-ong! Malam harinya, tiga hari yang lalu, di depan hidungku sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, bangsat itu datang dan membawa pergi Bi Loan!"
"Apa? Bagaimana terjadinya?" Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya sudah lumayan. Kalau laki-laki muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu saja, itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian jembel muda itu tentulah hebat!
"Sungguh aku harus merasa malu. Sudah menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, tapi aku sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang penjahat tak ternama seperti dia. Aku harus tutup perguruanku!"
"Suhu...!" lima orang murid kepala berseru.
"Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?" guru silat itu menghela napas. "Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku mau pun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya ke luar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar puteriku berkata ‘Selamat tinggal, Ayah’ dan melihat berkelebatnya bayangan itu di atas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa! Kemudian menghilang di dalam gelap...!"
Makin kagum hati Kwee Seng. Selama ini baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang muda yang berkepandaian hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda lain yang menyebut diri raja pengemis yang demikian lihai!
"Nah, selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan penyelidikan, akan tetapi bukannya mengetahui di mana sembunyinya penjahat yang menculik anakku, malah berani berlaku kurang ajar kepadamu. Betapa pun juga, hal ini kuanggap kebetulan sekali, karena kalau tidak kau sahabat muda, siapa lagi yang dapat mencuci bersih namaku ini?" suara guru silat itu terdengar sedih sekali, penuh permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan telah banyak berkurang semangatnya begitu menderita kekalahan.
"Baiklah, Lo-enghiong," Kwee Seng menyanggupi. "Mendengar ceritamu, aku jadi ingin sekali bertemu dengan raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan dapat menemukannya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul dia itu telah memilih si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu kau sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara...," perih hati Kwee Seng berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang berkali-kali menjadi korban asmara jahil!
Liong Keng menghela napas dan mengangguk-angguk. "Dia bukan keturunanku sendiri, bagaimana aku bisa mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian tidak menghendaki aku mempunyai keturunan."
Setelah menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee Seng lalu berpamit dan pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat menarik hatinya... si Raja Pengemis!
********************
Dua orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang di antara mereka yang berkepala botak bertanya serius, "Dari mana mau ke mana?"
Pertanyaan singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia tertawa dan menjawab seenaknya, "Dari belakang mau ke depan!"
Sejenak kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka tertawa bergelak. Orang ke dua yang hidungnya bengkok ke atas kemudian menghardik. "Jembel kapiran! Hayo lekas pergi, di sini bukan tempat kau mengemis!"
"Tempat apa sih ini?" Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting.
"Di sini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo lekas minggat, apa kau ingin kupukul mampus?" bentak si Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar kepala Kwee Seng itu di depan hidung si Pendekar Sakti.
"Waduh, tanganmu bau kencing kuda!" Kwee Seng menutupi hidungnya.
Kwee Seng lalu menjauhkan mukanya dan memandang kepada papan nama di depan pintu, mengerutkan keningnya dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu otomatis menarik kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya tangannya itu memang bau karena hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat. Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan, akan tetapi sebelum ia sempat memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran karena pengemis itu sudah membaca papan nama dengan suara keras, "Ban Hwa Po Koan” (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah, kebetulan sekali, aku paling gemar berjudi!"
Sekaligus kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel pandai membaca huruf, dan mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula? "Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta, bagaimana kau bisa berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek si Botak dan kedua orang penjaga pintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut.
Mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka melotot lebar memandang tangan Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang perak yang berkilauan! "Apakah modal sekian ini kurang cukup?"
Dua orang itu menelan ludah, menaksir-naksir bahwa kantung itu isinya tidak kurang dari seratus tail perak. Kemudian mereka mengangguk-angguk. "Cukup... cukup... silakan masuk...!"
Kwee Seng menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung ia melangkah masuk, diawasi dua orang penjaga yang terheran-heran. Akan tetapi Kwee Seng tidak mempedulikan mereka, terus saja melangkah masuk ke dalam ruangan yang cukup luas, di mana terdapat banyak orang mengelilingi beberapa buah meja judi. Ngeri hati Kwee Seng ketika menyaksikan orang-orang yang berjudi. Bukan seperti wajah manusia lagi, melainkan seperti sekelompok binatang kelaparan. Muka penuh peluh, berkilauan basah, mata melotot dan seluruh uratnya menegang. Sinar mata penuh kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang kehabisan uang kelihatan putus asa, penasaran, dendam, dan iri.
“Tempat setan dan iblis berpesta-pora,” pikir Kwee Seng. Hawa udara terasa panas di dalam Rumah Judi Selaksa Bunga itu. Panas luar dalam. Luar panas karena kurang hawa, dalam panas karena pengaruh uang.
Kwee Seng menghampiri meja tengah yang paling besar dan paling ramai. Semua meja adalah meja permainan dadu. Meja tengah juga tempat bermain dadu, akan tetapi di sini agaknya tempat istimewa di mana taruhannya amat besar. Uang perak bertumpuk-tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas.
Yang mainkan dadu adalah seorang laki-laki kurus bermata sipit seperti selalu terpejam. Orang itu usianya empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung sampai ke siku. Gerakan kedua tangannya cepat sekali ketika ia memutar biji-biji dadu di dalam mangkok, kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok itu ke atas meja dengan biji-biji dadu di bawah mangkok.
Mulailah orang-orang memasang nomer yang ia duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika pemasangan selesai, dengan gerakan tangan cepat sekali pemain itu membuka mangkok, maka tampaklah dua biji dadu di atas meja dengan permukaan memperlihatkan titik-titik merah. Jumlah titik-titik inilah merupakan angka yang keluar.
Bagi yang pasangannya kena, mendapat jumlah taruhannya yang diterima dengan wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Bagi yang kalah, dan sebagian besar memang kalah, mereka hanya melihat dengan mata sayu betapa tumpukan uang taruhan mereka digaruk oleh si Bandar yang tertawa-tawa lebar. Agaknya yang nasibnya mujur adalah selalu si Bandar, buktinya yang mendapat atau yang pasangannya terkena selalu hanya yang memasang kecil, sebaliknya yang taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya!
Kedatangan Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang semua perhatian ditujukan ke atas meja. Setelah melihat tiga empat kali pasangan melalui pundak orang-orang yang bertaruh, Kwee Seng mendesak maju. Dengan lagak dibuat-buat ia mengeluarkan pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya di atas meja dengan keras. Jelas tampak bahwa pundi-pundi itu isinya berat dan banyak, maka tertegunlah semua orang. Yang merasa pasangannya hanya kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga akhirnya Kwee Seng dapat duduk berhadapan dengan si Bandar Judi. Pundi-pundi itu belum dibuka, maka si Bandar yang kurus itu memandang tajam dengan mata sipitnya.
"Pasangan dengan uang tunai. Apakah anda punya uang?" tanya si Bandar dan diam-diam ia merasa heran mengapa penjaga pintu memperkenankan seorang jembel masuk ruangan itu.
"Heh-heh-heh, kalau tidak punya uang, tentu aku tidak akan berjudi!" Kwee Seng membuka pundi-pundinya dan terdengar seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi pundi-pundi oleh mereka. "Tapi aku tidak sudi berjudi kecil-kecilan. Aku ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap, dengan hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"
Kembali orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini, menantang bandar! Ban-hwa Po-koan adalah rumah judi besar, orang-orang yang menjadi bandar adalah ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini tersenyum-senyum memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi tikus.
"Mengapa tidak berani? Berapa uangmu dan berapa akan kau pertaruhkan?"
"Isi pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail, kupertaruhkan semua!"
Ramai sekali terdengar seruan kaget ketika para penjudi mendengar ucapan ini. Sekali pasang seratus dua puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila yang dapat melakukan hal ini! Bahkan si Bandar Kurus itu sendiri menjadi basah penuh keringat karena betapa pun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan yang begini hebat. Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepalanya seperti orang mencari kutu rambut.
"Eh, Muka Tikus, berani tidak kau?" akhirnya ia berkata kesal melihat bandar itu hanya memandang kepadanya.
Ada yang tertawa geli, ada pula yang khawatir mendengar jembel itu berani menyebut muka tikus kepada bandar. Apalagi ketika mereka melihat betapa empat orang tukang pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap tubuhnya, diam-diam mendekati Kwee Seng dan berdiri di belakang si Jembel ini sambil saling memberi tanda dengan mata, siap untuk menerjang kalau perlu.
"Apa? Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau bertaruh genap atau ganjil?"
Si Bandar menyisihkan sebuah dadu yang bermuka enam, memasukkannya ke dalam mangkok yang telentang di atas meja. Suasana menjadi tegang, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara. Mereka menanti jawaban Kwee Seng sehingga keadaan menjadi sunyi, dan agaknya sebuah jarum yang jatuh ke lantai akan terdengar pada saat itu.
Kwee Seng masih tersenyum-senyum dan ia mendorong pundi-pundinya ke depan. "Seratus dua puluh tail perak kupasangkan untuk angka ganjil!" katanya nyaring.
Si Bandar tertawa, hatinya girang bukan main karena tiba-tiba ada makanan begini lunak tersodor di depan mulutnya. Jari-jari tangannya sudah terlatih sempurna sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat mempergunakan dua jari telunjuk dan tengah yang berada di belakang mangkok untuk membalik-balik biji dadu di waktu ia menutup atau membuka mangkok, tanpa seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan ini sudah ia lakukan bertahun-tahun dan tak pernah ada yang tahu.
Dengan jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik dua biji dadu sesuka hatinya, apalagi kalau hanya sebuah! Alangkah mudahnya. Tiap kali ia menutup mangkok, matanya yang seperti terpejam itu sekelebatan dapat melihat angka yang berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu membuka mangkok, cepat jari-jari tangannya yang memegang mangkok dan tersembunyi di belakang mangkok bekerja membalik biji-biji dadu menjadi angka-angka yang hanya dipasangi taruhan-taruhan kecil. Dengan cara demikian, selalu pemasang taruhan besar akan kalah.
Sekarang jembel gila ini bertaruh angka ganjil untuk sebuah biji dadu. Alangkah mudahnya untuk membalikkan biji dadu itu agar permukaannya yang genap berada di atas untuk memperoleh kemenangan seratus dua puluh tail. Alangkah mudahnya!
"Baik!" katanya. "Semua orang di sini menjadi saksi. Kau memasang angka ganjil!"
Kemudian ia menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi lagi, dan memutar-mutar dadu ke dalam mangkok. Gerakannya cepat sekali sehingga dadu yang berputaran di dalam mangkok itu tidak kelihatan lagi saking cepatnya, kemudian dengan gerakan tiba-tiba, ia membalikkan mangkok ke atas meja dengan biji dadu di bawahnya.
"Heh-heh-heh!" si Bandar mengusap peluh di dahinya. "Apakah kau tidak merobah pasanganmu? Tetap ganjil? Boleh pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak memilih. Ganjil atau genap?"
Suasana makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin Kwee Seng menaruh kedua tangannya di atas meja, di depannya. Tenang-tenang saja ia menjawab, "Aku tetap memasang angka ganjil!"
Si Bandar dengan tangan agak gemetar memegang mangkok, mulutnya berkata, "Nah, siap untuk dibuka, semua orang menjadi saksi!" Jari-jarinya bergerak dan mangkok diangkat, dibarengi seruan Si Bandar. "Heeeeeiiitt!"
Semua mata memandang kepada biji dadu yang telentang, jelas memperlihatkan lima buah titik merah.
"Ganjil...!" semua mulut berseru.
"Aaahhhhh....!" Si Bandar menjadi pucat, berdiri terlongong keheranan memandang ke arah biji dadu, hampir tidak percaya kepada matanya sendiri.
Tadi ketika menutup mangkok, jelas ia dapat mengintai bahwa dadu itu tadi berangka lima, maka ketika membuka mangkok, telunjuknya sudah menyentil dadu itu agar membalik ke angka enam atau empat. Akan tetapi mengapa dadu itu tetap telentang pada angka lima, padahal ia yakin betul bahwa sentilan jarinya tadi berhasil baik? Apakah kurang keras ia menggunakan jarinya?
"Heh-heh-heh, apakah kemenanganku hanya cukup kau bayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar seratus dua puluh tail!" kata Kwee Seng tertawa-tawa.
Empat orang tukang pukul sudah siap dengan tangan di gagang golok, akan tetapi bandar itu tidak memberi tanda, maka mereka tidak berani turun tangan. Bandar itu menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap peluh yang memenuhi muka dan lehernya, kemudian ia tertawa.
"Heh-heh-heh... tentu saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan tetapi, apakah kau termasuk botoh kendil?"
Kwee Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya istilah ‘botoh kendil’ ini. Botoh berarti penjudi, ada pun kendil adalah perabot dapur untuk masak nasi. Ia mengerutkan kening, mengira istilah itu merupakan makian. "Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa jembel ini bukanlah seoarang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan malah menang?
"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan, termasuk golongan yang licik!" jawab si bandar yang juga terheran-heran.
Kwee Seng tertawa, tidak jadi marah. "Wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi kekalahan? Jangan khawatir, Tikus, aku tidak akan lari. Hayo bayar dulu kemenanganku!"
Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring. "Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!" Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar.
Perjudian di dalam ruangan itu seakan-akan menjadi terhenti sama sekali. Semua penjudi kini menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan si Bandar bermata sipit. Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal si Jembel! Kalau tadi ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.
"Bagus! Kau memang benar-benar penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.
"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol," Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi dadu yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di depan dadanya.
Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi di atas meja menyembunyikan dadu di bawahnya. "Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan semua orang!" si Bandar berkata, suaranya agak gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Jembel ini tidak merobah taruhannya.
"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!" Kwee Seng berkata tenang tapi cukup jelas.
Muka si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan. "Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti kalah!"
Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.
"Wah, ganjil lagi...!!" seru semua orang dan si Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!
"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? Semua orang melihat jelas bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"
Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele. "Ini... ini tak mungkin... bagaimana bisa ganjil lagi...?" Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap si Jembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.
"Hayo bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar lagi?"
Selagi si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!
"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis tua itu.
Heran tapi nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan dengan Kwee Seng!
"Baiklah, Pangcu," kata si Bandar.
Mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek itu penuh perhatian. Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya, sedangkan kedua tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya.
Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah menggunakan tenaga lweekang-nya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa lweekang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap atau membalik sesuka hatinya. Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundi-pundi uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail!
Setelah membayar, si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian karena ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung-jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik ke arah kakek itu, si Kakek berkata perlahan. "Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana nasib baik orang muda ini."
Mendengar ini, si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa si Kakek hendak membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser dari pundaknya.
Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota. Kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa Po-koan karena sesungguhnya terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa Kai-pang. Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan para tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan), ketua Ban-hwa Kai-pang, menjadi ketakutan akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini mereka menjadi besar hati.
Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?"
Keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang dari pada tadi. Semua orang yang berada di situ, biar pun sebagian tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi. Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di dalam rumah judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.
Sambil melirik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil berkata, "Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si Bandar mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda dengan mata supaya si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua. Dengan gerakan hati-hati si Bandar menangkap pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai ke jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu membantunya dengan tenaga sinkang.
"Siap Buka... heeiittt! Aduuhhh...!" si Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh hawa sinkang si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.
"Ganjil lagi...!"
“Hebat...!!" Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga!
Diam-diam si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang sembarangan. Ia maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan dorongan berhawa sinkang dari jari-jari tangan, mencegah si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan!
Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah kakek. Ia jelas merasa gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata, "Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang, tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"
Mendengar ini, si Bandar dan para pembantunya segera sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar! Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil keuntungan rumah judi itu selama beberapa hari!
Orang-orang di situ makin terheran-heran. Mereka melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi raja uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail perak, agaknya masih belum puas. Buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu.
Kini kakek pengemis itu yang bertanya. "Sahabat muda, masih berani melanjutkan?"
Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri. "Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis. Cepat-cepat ia menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng.
"Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi langganan baik," kata si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.
"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi," kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik... ha-ha-ha, hayo teruskan permainan!"
Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, si Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh, terhuyung-huyung sampai jauh.
"Ha-ha-ha, memang dia sedang sialan!" Kwee Seng menertawakan.
Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik. "Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!" seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan. Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kau mainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kau kehendaki? Tentu bukan kemenangan uang," kata si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada kalau diputar oleh si Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga.
"Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee Seng mengangguk. "Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya Kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan apakah dengan Kai-ong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kau terima?"
Kakek itu mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga dari pada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kau dapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kau bayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kau bawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya Kai-ong. Akur?"
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu si Jembel menolak.
Akan tetapi Kwee Seng mengangguk dan berkata, "Cocok!"
“Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang Kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi?!” demikian pikir sebagian besar orang di sana.
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib si Jembel dan tangan kirinya. Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.
Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru. "Siap buka, lihatlah!"
Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu, jari-jari tangan kiri Kwee Seng juga menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sinkang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin karena begitu tadi mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau terloncat ke luar dari tempatnya.
Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyong ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah.
Ada pun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi miring!
"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras?” terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapa pun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu tenaga sinkang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sinkang.
Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!
Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!" teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya menuju Kwee Seng.
Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan. Sebelum mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali, kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara karena ‘terjepit’ di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu?”
Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sinkang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan biar pun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya.
Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata, "Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...!"
Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu, empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini. Namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak ada arti baginya, dan karena ia sedang mengerahkan sinkang sehingga seluruh tubuhnya terlindung, ia pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, dan tiba-tiba....
"Wuutttt!" senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat.
Saking hebatnya tenaga membalik, tanpa dapat dicegah lagi golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi. Bukan kepala Kwee Seng yang termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biar pun tidak tajam, namun punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka ‘bocor’ dan tumbuh tanduk biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung Tiang-lo ke belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa, lalu menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan, sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.
Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangan menjura kepada Kwee Seng. "Sicu (Orang Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan Kai-ong. Di lereng sebelah utara Tapie-san, di mana Kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee Seng tersenyum dan menjura. "Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat mengempit dan membawanya seakan-akan amat ringan.
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku ke luar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus.
Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut ke luar, dan tentu saja tidak semua dari mereka menderita kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula ke luar. Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-saudara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!"
Tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih! Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san.
"Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi.
Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya. Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong Keng! "Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi ‘kuliah’ oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri di depannya dengan pandang mata penuh perhatian.
Kwee Seng tertawa lagi. "Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kau katakan, mengapa perbuatanku tadi kau katakan sia-sia belaka tidak ada gunanya?”
"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan dengan wejangan ini." Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
Diri sendiri melakukan kejahatan
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?
Kwee Seng melongo. "Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!" ia mengenal sajak itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.
Bu Song mengangguk. "Aku membacanya dari kitab. Kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin tertarik. "Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak mau lagi menyebut anak itu ‘anak sinting’.
Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya. "Anak baik, coba kau jelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung dari pada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci mana pun juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini ‘ngoceh’ tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala macam nasehat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain dari pada belajar sendiri! Oleh karana itu, perbaikilah dirimu sendiri sebelum engkau memperbaiki orang lain."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau semua orang masing-masing belajar memperbaiki diri sendiri, maka apa perlunya segala macam nasehat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasehati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasehat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling...."
"Hahhh...? Apa kau bilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri ketika pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku. "Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kau anggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu Song menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam mau pun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan. Ada pun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu.
Kembali ia menghela napas dan berkata, "Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Semenjak perantauannya, baru kali ini ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaannya. Andai kata dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian....!
Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini. Kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
Lima warna membutakan mata
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!
Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya. Karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali, Paman, terutama isi sajaknya!"
Kwee Seng tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"
Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, kerena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata. "Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To, bukan?"
Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman."
"Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa she-mu (nama keturunan)?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan."
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau, Paman."
"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau juga tidak mempunyai tempat tinggal?"
Bu Song mengangguk!
"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?" Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.
Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?"
Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab, "Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman. Aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biar pun dengan penuh sesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran. Ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
“Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini,” pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi 'Kim-mo Taisu', lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama To!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.....
Komentar
Posting Komentar