CINTA BERNODA DARAH : JILID-17

Kita kembali mengikuti Lin Lin. Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua puluh empat orang Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah mendatangi ruangan sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan itu bersama tokoh-tokoh Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan di mana terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang, melihat pula betapa Beng-kauwcu masih memegang tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu permata yang mengeluarkan sinar itu, Lin Lin kecewa sekali. Ia dapat menduga bahwa Hek-giam-lo tentu belum berhasil merampas tongkat itu. Selain kecewa juga ia melihat kesempatan terbuka baginya untuk membebaskan diri dari Pak-sin-tung karena Suling Emas berada di situ, maka dengan nekad ia menyelinap masuk melalui pintu belakang ruangan sembahyang itu yang merupakan sebuah bangunan besar, megah dan seram.
Pak-sin-tung kaget sekali karena kakek ini sudah mendengar bahwa bangunan ruangan sembahyang ini adalah bagian terlarang yang tidak boleh sekali-kali dimasuki orang. Jangankan orang luar, bahkan para anggota Beng-kauw sendiri ia dengar tidak berani memasukinya. Sekarang Lin Lin masuk melalui pintu kecil itu!
Tadinya ia hanya bersembunyi sambil mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak muncul, maka kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati, meninggalkan tempat sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak mengeluarkan suara, ia telah berada di depan pintu kecil. Alangkah kagetnya ketika ia membaca tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman bagi orang yang berani memasuki pintu itu.
Betapa pun gagahnya Pak-sin-tung, ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia mundur lagi, tidak berani masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi dan mengintai ke arah ruangan yang masih sibuk.
Lin Lin memasuki lorong yang amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan terus, meraba-raba dengan kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai merasa seram ketika lorong yang panjang itu terus berada dalam kegelapan dan dinginnya makin menyusup tulang, seakan-akan ia berada di dalam lorong yang ditutup es. Mulailah ia ragu-ragu dan takut, siap untuk memutar tubuh dan kembali. Akan tetapi ia teringat bahwa di belakangnya, Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang Khitan siap untuk memaksanya ke Khitan! Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan melangkah maju terus.
Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara bercicit aneh di dalam gelap, suara yang mula-mula terdengar di atas, kemudian terdengar di sebelah bawah. Ia berhenti, bulu tengkuknya meremang. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu makin mendekat, terdengar di bawah kakinya. Dengan mengeraskan hatinya yang kebat-kebit ia melangkah lagi, kakinya agak menggigil. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan.....
“Cuittttt!” terdengar suara keras.
Lin Lin meloncat ke atas, semangatnya serasa melayang meninggalkan tubuhnya ketika ia tahu bahwa suara itu suara tikus-tikus dan bahwa ia tadi menginjak tikus. Hampir ia pingsan. Celaka baginya karena di antara segala benda dan makhluk di dunia ini, hanya tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis akan dilawannya, harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus? Menggigil ia dibuatnya.
Saking jijik dan takutnya, Lin Lin memutar tubuh dan pulang balik setengah berlari. Akan tetapi anehnya, sampai lama ia tidak juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah salah jalan, tidak tahu bahwa lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin Lin telah tersesat ke dalam liku-liku jalan di bawah tanah.
Kegelisahan tercampur rasa ngeri dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak terdapat di jalan terowongan gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin tiba-tiba dapat melihat cahaya remang-remang di sebelah depan! Ia berlari terus, hatinya lega. Tak salah lagi, pikirnya, tentu di depan itu terdapat jalan ke luar. Benar saja, lorong itu makin lama makin lebar dan cahaya menjadi makin terang.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil menyambarnya. Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkelebat ketika pedangnya membacok ke arah bayangan ini.
“Crakkk!” Lin Lin berdiri dengan mata terbelalak ketika melihat benda hitam itu kiranya adalah seekor ular hitam! Agaknya ular ini tadi kaget melihat kedatangannya dan menyerang. Kini tubuh ular itu menjadi dua potong dan bagian ekornya melilit-lilit tubuh sendiri. Lin Lin menyimpan kembali pedangnya dan melangkah maju dengan hati-hati.
Setelah berjalan maju sejauh tiga puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah sebuah ruangan besar dan cahaya yang sebagian menerangi lorong tadi ternyata adalah cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang lebar, berjeruji baja dan tingginya dari lantai kurang lebih dua meter. Tiba-tiba mata gadis itu terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat ketika pandang matanya meluncur ke bawah dan bertemu dengan tumpukan peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah.
Peti-peti mati itu bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang yang menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan hatinya. Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu tentulah persediaan bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw. Tadi ia kaget karena melihat bentuk dan model peti-peti yang berjajar dan bertumpuk itu sama benar dengan peti mati yang berada di ruangan sembahyang.
“Ah, benda mati, hanya terbuat dari pada kayu dan kosong, takut apa?” dengan suara hati menenangkan ini Lin Lin melangkah maju, sengaja tidak mau memperhatikan peti-peti mati itu, lalu sibuk mencari jalan ke luar.
Ia bingung dan heran. Ruangan ini tidak berpintu! Akan tetapi dari balik ruji jendela itu ia melihat atap sebuah rumah. Agaknya ruangan ini merupakan tempat terakhir dari jalan terowongan, dan melihat peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan semacam tempat penyimpanan peti mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang demikian, mengapa tidak ada pintunya yang menembus ke bangunan lain? Apakah untuk memasuki ruangan ini orang harus melalui jalan terowongan yang berliku-liku, banyak cabang dan rahasianya dan selain jauh, juga demikian gelapnya? Tak masuk akal!
Ia melangkah maju dan menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.
“Kriiittttt...!”
Lin Lin menengok, bulu tengkuknya berdiri. Jelas ia mendengar suara itu, seperti sebuah pintu karatan dibuka, atau... sebuah tutup peti! Akan tetapi tumpukan peti-peti mati itu tidak bergerak. Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan hampir ia menjerit. Seekor tikus besar lari ke luar dari bawah peti mati sambil mencicit lari melalui bawah kakinya.
Dengan hati berdebar-debar Lin Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya seekor tikus! Ia menggerakkan kedua pundak seperti orang kedinginan karena timbul rasa jijik dan gelinya. Akan tetapi segera wajahnya berubah. Biasanya tikus takut melihat manusia dan tentu akan bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah tumpukan peti mati itu malah ke luar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri lewat dekat kakinya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus juga takut akan sesuatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara berkerit tadi!
“Ah, tidak ada setan di siang hari!” pikir Lin Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh kegemasan ia melangkah maju mendekati tumpukan peti mati.
Ia tersenyum. “Nah, tidak ada apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang harus ditakuti?” katanya perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling atas.
Setelah kengeriannya lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini sengaja hendak memeriksa terus. Tangan kanannya memegang gelang baja yang dipasang di atas tutup peti mati yang paling atas, lalu mengerahkan tenaga membukanya untuk menyatakan bahwa peti mati itu memang kosong.
Peti mati itu terbuka tutupnya, mengeluarkan suara seperti tadi, berkerit karena engselnya berkarat. Sedikit demi sedikit tutup itu terbuka, karena amat berat sehingga Lin Lin harus mengerahkan tenaga. Ia tersenyum sambil memandang ke dalam peti mati dan... Lin Lin melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur, terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding dingin. Matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara. Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti, muka mayat yang pucat kurus dan lebih hebat lagi... tangan mayat yang hanya tulang terbungkus kulit itu bergerak menyangga tutup peti mati! Mayat itu bergerak dan hidup!
Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu bergoyang-goyang, tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat, kemudian peti mati itu meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan menjenguk ke luar dan lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup.
Lin Lin menggerakkan tangan kanan meraih gagang pedang, akan tetapi pada saat itu terdengar lengking tinggi mengerikan, seperti suara suling, keluar dari mulut itu. Tiba-tiba Lin Lin menggigil kaki tangannya, tak dapat lagi mencabut pedang. Suara itu selain mengandung pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia akan sesuatu.
“Kau... kau...,” suaranya tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan nyaring, kemudian gadis ini menjadi lemas dan terguling, pingsan! Kekagetan mengingat bahwa ia berhadapan dengan pembunuh ayah ibu angkatnya, yaitu setan peti mati dengan suara seperti suling, ditambah kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.
Suara lengking itu berhenti, peti mati yang tadinya berada di tumpukan paling atas, kini sudah berada di bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan tetapi tutup peti mati terbuka makin lebar oleh lengan yang kurus. Dengan gerakan perlahan mengerikan, ‘setan’ itu keluar dari dalam peti mati. Ia seorang laki-laki tinggi, kurus sekali seperti tengkorak terbungkus kulit. Kepalanya gundul, matanya tak pernah berkedip, hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah, mulutnya seperti orang menangis. Tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang robek di sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak bergerak-gerak itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih patut menjadi muka mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak, menandakan bahwa ia masih hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat hidup!
Mayat hidup itu berjalan perlahan menghampiri Lin Lin, terbungkuk berdiri memandang ke arah muka gadis itu. Mulutnya mengeluarkan suara “ah-ah-uh-uh” seperti orang setengah tertawa setengah menangis, kemudian ia membungkuk dan dengan sebelah tangan saja ia mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati yang bertumpuk, membuka tutup peti mati teratas lalu... memasukkan tubuh Lin Lin ke dalam peti mati itu dan menutupnya kembali!
Setelah melakukan hal ini, ia kembali mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya bergerak seperti orang tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke dalam peti matinya yang dapat bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan peti mati. Dalam sekejap mata, peti-peti mati itu sudah bertumpuk seperti tadi dan keadaan di dalam ruangan itu sunyi tak terdengar apa-apa lagi.
********************
Di ruangan sembahyang telah mulai ramai dengan para tamu yang berdatangan untuk memberi penghormatan. Mereka itu seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat adanya peti mati besar yang berada di tengah ruangan, di belakang meja sembahyang. Bukankah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri Beng-kauw itu telah meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang peti matinya masih berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya tidak dikubur? Pertanyaan-pertanyaan ini terkandung di hati setiap orang pengunjung, akan tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan penuh hormat mereka memasang hio dan memberi hormat ke arah peti mati yang membujur di tengah ruangan. Asap hio makin banyak dan tebal mengebul memenuhi ruangan, membawa bau harum.
Di sebelah kanan peti mati berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan dan membalas dengan sikap hormat kepada setiap orang tamu yang bersembahyang. Di sebelah kiri peti mati berdiri Liu Hwee dan di belakangnya berjajar para pembantu pimpinan Beng-kauw. Mereka ini pun membalas penghormatan para tamu. Yang berdatangan adalah tamu-tamu terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain. Tokoh-tokoh kang-ouw belum ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya. Akan tetapi Suling Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di sebelahnya duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum dan wajahnya berseri-seri.
“Sungguh, Song-koko (Kakak Song), kau telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara hebat! Setengah mati kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan berbahaya. Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling Emas adalah kakak kami Kam Bu Song?”
Suling Emas menahan senyumnya sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata. “Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama seperti itu. Bagiku, aku adalah Suling Emas....”
Bu Sin mengeluarkan sebuah gelang emas, “Twako (Kakak Tertua), biar pun kau sudah melupakan kami, sebaliknya kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat kepadamu, berusaha susah payah mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau meninggalkan pesan agar kami bertiga mencarimu dan memberikan benda ini kepadamu. Twako apakah kau berani bilang bahwa kau melupakan benda ini?” Ia menyerahkan gelang emas itu kepada Suling Emas.
Melihat benda ini, Suling Emas berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya. Ia membaca dua buah huruf yang berbunyi BU SONG terukir pada gelang emas kecil itu. Ia meramkan matanya untuk beberapa detik lamanya, agaknya untuk membayangkan ketika ia masih kanak-kanak, membayangkan ayah bundanya, ketika ia membuka kembali matanya, Bu Sin melihat betapa bola matanya itu agak membasah, dan ia menjadi terharu. Suling Emas mempermainkan gelang itu dengan kedua tangannya, seakan-akan heran bagaimana benda sekecil itu dahulu dapat menghias lengan tangannya.
“Bu Sin...,” katanya kemudian, perlahan sekali setengah berbisik, “kau keliru kalau kau menyangka aku melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah melupakan Ayah, biar pun harus kuakui bahwa aku juga tidak dapat lupa betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan menikah lagi. Juga... aku girang sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi... Bu Sin, kupesan kepadamu, jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian, belum lagi tiba saatnya. Kelak mungkin....”
Pada saat itu Suling Emas tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan matanya memandang ke luar ruangan. Bu Sin juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak ke arah makhluk yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya terdengar parau dan bergema seakan-akan suara yang datang dari balik kubur.
“Pat-jiu Sin-ong, tiga tahun mati, petimu masih belum dikubur, benar-benar membikin aku merasa kagum.” Ia lalu melangkah maju menghampiri peti mati, mengamat-amati dengan mata terbelalaknya.
Menyeramkan sekali iblis ini bagi Bu Sin yang baru kali ini menyaksikannya, seorang manusia tapi mukanya adalah muka tengkorak, pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan tengkorak hidup, tentulah seorang manusia yang memakai kedok tengkorak yang menyeramkan.
“Hek-giam-lo, terima kasih atas penghormatan terhadap kami,” kata Beng-kauwcu Liu Mo. “Kau datang mewakili Kerajaan Khitan ataukah atas nama pribadimu sendiri?”
“Khitan tidak ada urusan mau pun permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada permusuhan dengan Beng-kauw, apa lagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam pertandingan yang cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah mati tiga tahun yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di sini, apa salahnya aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?” Memang sepuluh tahun yang lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan dalam adu kesaktian oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Beng-kauwcu Liu Mo tentu saja cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis dan aneh sekali. Akan tetapi mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati kakaknya, ia terkejut dan marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang tenang, ia menggerakkan kakinya mendekat, siap mencegah dengan cara apa pun juga agar iblis hitam tidak melakukan perbuatan yang lancang ini.
“Hek-giam-lo, mengingat akan hubungan di antara kita, harap kau suka lepaskan tanganmu dari peti mati dan jangan mengganggunya.”
Akan tetapi secara tiba-tiba sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh dan... kedua tangannya memukul dengan gerakan hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah pusar dan dada Beng-kauwcu Liu Mo! Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga dilakukan tiba-tiba di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw itu tadinya ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya dari gangguan Hek-giam-lo. Siapa duga, bukan peti mati yang diserang melainkan dirinya.
Kalau saja bukan Beng-kauwcu Liu Mo yang menghadapi serangan kilat yang mematikan ini, tentu dia yang diserang Hek-giam-lo akan kalah. Para tamu dan para pimpinan Beng-kauw sudah mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan tetapi, biar pun dalam keadaan berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia mengangkat kedua tangan, secepatnya digerakkan menangkis pukulan sambil membanting tubuh ke belakang.
Kiranya pukulan Hek-giam-lo itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu iblis hitam ini sudah menubruk dari samping dan sekali renggut, tongkat di tangan Beng-kauwcu itu telah dirampasnya. Ia melompat ke luar dari ruangan itu sambil tertawa bergelak.
“Manusia curang...!” Suling Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah dari tuan rumah, ia hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang marah.
“Hek-giam-lo, kembalikan tongkat kami!” Dengan gerakan ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang ke luar mengejar, akan tetapi tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang tongkat dengan tenaga dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera mengelak dan ia berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya. Kakek ini bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguruan Hek-giam-lo.
“Kauwcu, tidak perlu mengejar dia,” kata kakek buntung ini. “Ketahuiah, tongkatmu itu hanya dipinjam, terpaksa dirampas untuk memenuhi permintaan Tuan Puteri kerajaan kami yang ingin meminjamnya sebentar!”
Pada saat itu Suling Emas sudah berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo, juga anak buah Beng-kauw sudah ikut mengejar. Para tamu yang tertarik akan peristiwa hebat itu pun tidak mau ketinggalan, ikut pula mengejar hendak menonton. Mereka kini seakan-akan telah pindah dari ruangan sembahyang ke ruangan depan, lalu otomatis membentuk lingkaran lebar dan mengurung Pak-sin-tung yang ditemani oleh enam orang anak buahnya yang muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka.
Seperti kita ketahui, Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu yang memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan mengintai di situ sampai keesokan harinya. Demikian pula para anak buah yang dua puluh empat orang itu, diam-diam bersiap di tempat persembunyian masing-masing sehingga melihat Pak-sin-tung kini mewakili Hek-giam-lo menghadapi ketua Beng-kauw, enam orang di antara mereka muncul mengawaninya.
“Siapa kau?” Beng-kauwcu Liu Mo menegur, memandang tajam kepada kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat dan enam orang laki-laki di belakang kakek ini yang tampak gagah bersemangat.
Memang, Pak-sin-tung tidaklah sepopuler Hek-giam-lo, karena kalau Hek-giam-lo suka merantau dan membuat geger dunia kang-ouw, adalah Pak-sin-tung berdiam di Khitan sebagai pengawal kaisar di Khitan, jarang sekali keluar dari Khitan. Karena inilah maka Beng-kauwcu Liu Mo tidak mengenalnya.
Pak-sin-tung menjura. “Kauwcu, saya yang rendah disebut orang Pak-sin-tung. Hek-giam-lo adalah suheng-ku, karena itulah terpaksa saya berlaku kurang ajar mencegahmu mengejar suheng.”
Merah muka ketua Beng-kauw itu. Ia memang tidak bisa bicara. Terhadap Hek-gim-lo, ia masih mau turun tangan. Akan tetapi terhadap seorang yang kurang terkenal seperti Pak-sin-tung ini, betapa pun lihai Pak-sin-tung ia merasa enggan. Ketua Beng-kauw ini bertepuk tangan tiga kali, suara tepukan tangan ini amat nyaring seperti diadunya dua buah piring baja sehingga diam-diam Pak-sin-tung kaget bukan main karena tepukan tangan ini saja sudah membayangkan kehebatan tenaga dalam ketua Beng-kauw itu.
Beberapa detik kemudian, berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu Kauw Bian Cinjin sudah berada di situ, menjura di depan Beng-kauwcu sambil berkata penuh hormat, “Mohon maaf atas kelambatan siauwte sehingga si jahat Hek-giam-lo mendapat kesempatan untuk berbuat kurang ajar. Harap Kauwcu sudi mundur dan biarkan siauwte membereskan si buntung ini.”
Seperti biasa, sikap Kauw Bian Cinjin juga tenang sekali, akan tetapi di dalam ketenangannya, kakek berpakaian sederhana bertopi caping yang memegang pecut ini memperlihatkan gerak-gerik yang lincah bertenaga dan sikap yang berwibawa. Memang terkenallah di Nan-cao, apa lagi di kalangan para pimpinan Beng-kauw bahwa Kauw Bian Cinjin inilah yang menjamin lancar dan beresnya segala sesuatu mengenai Beng-kauw.
Biar pun kepandaian dan kesaktiannya tidak melampaui suheng-nya, yaitu Liu Mo sendiri, namun ia terkenal cerdik, waspada, dan luas pandangannya. Andai kata ia tidak sedang sibuk menyelidiki berbagai peristiwa yang mengacau di Nan-cao pada saat itu, tentu ia berada di dekat ketuanya dan kalau tadi ia hadir, kiranya Hek-giam-lo akan menghadapi kesukaran besar dalam merampas tongkat. Tadi pun ia hanya dapat melakukan itu karena melakukan penyerangan gelap lalu melarikan diri dan para pengejarnya dihadang oleh Pak-sin-tung.
Dengan sikap angker Kauw Bian Cinjin menghadapi Pak-sin-tung yang masih tersenyum-senyum. “Pak-sin-tung, kami tahu bahwa kau adalah sute Hek-giam-lo dan bahwa dari Khitan kau datang secara sembunyi. Kiranya kau dan suheng-mu merencanakan perampasan tongkat ketua kami. Pak-sin-tung, siapakah yang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan rendah ini? Pribadi kau dan Hek-giam-lo, ataukah Kerajaan Khitan?”
Tak enak juga hati Pak-sin-tung menghadapi sikap serius ini, apa lagi nama Kerajaan Khitan dibawa-bawa. “Terus terang saja, Kauw Bian Cinjin, kerajaan kami tidak tahu-menahu, akan tetapi peminjaman tongkat itu adalah atas perintah Tuan Puteri kami yang kebetulan kami jumpai di antara para tamu di sini. Beliau yang ingin meminjam tongkat itu.”
“Wah, adikmu yang bikin gara-gara...!” Suling Emas berbisik kepada Bu Sin yang sudah berada di sampingnya. Pemuda ini tadi pun bersama para tamu lain ikut berlari ke luar dan ia segera mengambil tempat di dekat kakaknya. “Kau tunggu di sini, biar kucari dia!” Sebelum Bu Sin dapat mengerti apa yang dimaksudkan Suling Emas, pendekar aneh itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.
Sementara itu, Kauw Bian Cinjin menoleh dan memandang ke arah para tamu, lalu berteriak lantang. “Kami mohon dengan hormat kehadiran Pek-bin-ciangkun sebagai wakil dari Khitan!”
Semua orang memandang dan muncullah seorang kakek tinggi besar bermuka putih, bersikap gagah dan berpakaian serba hijau. Ia menghadapi Kauw Bian Cinjin dengan sikap gagah seorang perwira tinggi peperangan yang memberi hormat dan berkata, suaranya lantang dan agak kaku karena memang ia seorang Khitan asli, “Semua ucapan Pak-sin-tung benar belaka. Urusan pagi hari ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Kerajaan Khitan dan sepenuhnya adalah tanggung jawab Hek-giam-lo dan Pak-sin-tung berdua.”
“Bagus, kami pun memang tidak ingin membawa-bawa pihak yang tidak bersalah. Pek-bin-ciangkun, sebagai wakil dari Khitan kau telah melihat sendiri bahwa sekali-kali bukan kami pihak Beng-kauw mau pun Kerajaan Nan-cao tidak menghormat tamu apa lagi wakil kerajaan lain, melainkan karena orang telah berbuat keterlaluan terpaksa kami bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat duduk.” Setelah wakil Khitan itu mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin menggerakkan pecutnya, menghadapi Pak-sin-tung.
“Pak-sin-tung, karena jelas bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian bersama Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum. Menyerahlah, dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Jika melawan, maka kami akan menggunakan kekerasaan.”
“Ha-ha-ha, Kauw Bian Cinjin, omongan dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung tertawa bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya? Suheng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah kalian mengejarnya untuk membantu agar perintah itu terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja, untuk menyerah tentu saja pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”
Kauw Bian Cinjin agaknya ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan sembahyang, ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata perlahan. “Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati mendiang twa-suheng yang mulia. Kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita, Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”
“Tar-tar-tar!” cambuk atau pecut panjang di tangan Kauw Bian Cinjin berbunyi tiga kali. Kakek ini sudah melangkah maju sambil membentak, “Pak-sin-tung, terimalah hukuman Beng-kauw!”
Pak-sin-tung tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil panjang yang mengeluarkan suara bercuitan menyambar ke arahnya, cepat ia mengangkat tongkat kirinya menangkis. Terdengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini beradu, disusul mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan tongkat, sampai mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!
Pak-sin-tung terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya tergantung di udara tanpa kaki! Tidak saja serangan-serangannya cepat dan aneh gerakannya, akan tetapi juga kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa pukulan dahsyat sehingga para penonton deretan terdepan merasa betapa angin pukulan menyambar-nyambar menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Pak­sin-tung (Tongkat Sakti dari Utara) tidaklah kosong belaka.
Akan tetapi ternyata wakil Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang. Ilmu silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan penting kepadanya. Pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah pecut biasa yang sering kali dipergunakan oleh penggembala-penggembala kerbau menggiring ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka menggembala kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.
Akan tetapi ia bukanlah penggembala biasa, dan tentu saja pecutnya juga bukan pecut biasa, melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh senjata tajam mana pun juga dan mengandung hawa panas seperti api ketika digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis, mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan lawan.
Betapapun pandai nya, menghadapi Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan tangguh yang tidak mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling sambar berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut nyawa apa bila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.
“Ciuuuuuttt!” Tiba-tiba cambuk itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar mengitari dua pasang tongkat.
Baiknya Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat kirinya karena kalau sampai kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia akan roboh karena tidak berkaki lagi! Akan tetapi tongkat kanannya telah terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.
Pak-sin-tung mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat kanannya. Ia telah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas tongkatnya dan... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu! Tongkatnya tidak terlepas dari libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya.
Kiranya ketika ia mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas, Kauw Bin Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga renggutan lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat. Kemudian, selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Sian Cinjin menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa pun juga!
Pak-sin-tung yang hanya berdiri di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau mengelak lagi karena tidak keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika tongkatnya sendiri menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke belakang, akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar. Ia mati seketika, tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan tetapi dari punggungnya mengucur darah di sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.
Enam orang Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan tenangnya menggerakkan cambuknya dan....
“Tar-tar-tar...!” terdengar bunyi enam kali dan... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.
Hening di sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di atas tanah. Kauw Bian Cin­jin menghela napas panjang sambil mengikatkan cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan caping. Rambutnya sudah dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang tosu. Kalau tadi ia tampak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak alim seperti seorang pertapa.
Belasan orang telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini adalah Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas, pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama sekali tidak membayangkan kemarahan.
“Cinjin, Pak-sin-tung dan enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw dan telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka mati sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas penyambutan Kerajaan Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di sini.” Ia menjura dengan hormat.
Kauw Bian Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya menyesal. “Mereka memang orang-orang gagah, dan Ciangkun memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua peristiwa yang sesungguhnya tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw saya haturkan terima kasih dan selamat jalan.”
Pek-bin-ciangkun memberi hormat ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang semenjak tadi duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan Nan-cao.
Seperginya rombongan ini, para tamu menjadi berisik, apa lagi ketika mereka melihat munculnya pengemis mata satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis ini tahu-tahu sudah berada di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara mengejek. “Aha, Beng-kauw telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali, sekalian memperlihatkan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dulu haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”
Sirap semua suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apa lagi ketika di belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri sambil memandang liar dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa. Benar-benar mereka ini merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat menyeramkan.
Melihat munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian Cinjin, apa lagi mendengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil memandang sekeliling.
“It-gan Kai-ong, kami tahu bahwa kau datang ke sini dengan niat busuk yang sedianya akan kami rahasiakan. Akan tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku menjawabmu. Orang-orang dari Khitan, biar pun mereka melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia jantan yang patut dihormati, kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami sama sekali tidak dapat menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan sekutunya yang datang dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan usaha-usaha khianat untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan Kai-ong, apakah kau hendak menyangkal kata-kataku?” Kauw Bian Cinjin memandang tajam, berdiri tegak dan gagah.
It-gan Kai-ong menyeringai. Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri. “Cuhhh, anak kecil bicara besar! Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”
Kauw Bian Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk bersanding. “Kauwcu, bolehkan siauwte membuka sekalian semua rahasia agar didengar oleh para tamu yang terhormat?”
Beng-kauwcu Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian keduanya mengangguk.
Kauw Bian Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang. “Harap para tamu mendengarnya! Di antara Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu terhormat dan datang dengan hati bersih, terdapat orang-orang yang datang dengan membawa niat busuk, di antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba kita dengan Kerajaan Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan Kerajaan Sung dan mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah hasil kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk lagi dalam hal memusuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua wakil dari Kerajaan Sung!”
Semua tamu menjadi berisik. Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah terjadi hal yang demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan kadang-kadang meludah ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si pembicara.
“Baiknya usaha busuk itu dapat digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.” Semua orang tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.
“Siapakah yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong! Malah Tok-sim Lo-tong juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur tangan Empek Gan!”
Semua orang memandang kakek tinggi kurus bersikap kanak-kanak yang telanjang tapi iblis ini tidak mempedulikan itu semua, enak-enak bermain dengan ularnya. Ada pun It-gan Kai-ong kembali menotokkan tongkatnya ke tanah. “Kauw Bian Cinjin, jangan sembarangan membuka mulut. Apa buktinya tuduhan-tuduhan itu?” Mata yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar kemarahan.
Kauw Bian Cinjin tersenyum. “Buktinya memang sukar diadakan karena kami telah membunuh orang-orang kami sendiri yang berkhianat dan dapat kau pikat untuk bersekutu. Akan tetapi, It-gan Kai-ong, ada sebuah perbuatan lagi yang jahat dan dapat dibuktikan. Kau telah menculik puteri Beng-kauwcu!”
Orang-orang menjadi ribut lagi. Tentu saja mereka semua tahu siapa puteri Beng-kauwcu, yaitu gadis cantik jelita yang menjadi penyambut tamu, gadis yang pakaiannya hitam putih dan aneh.
Akan tetapi It-gan Kai-ong tetap terkekeh mengejek. “Omongan bau! Semua omonganmu bau dan bohong! Tidak ada saksi tidak ada bukti, apakah Beng-kauw bisanya hanya menuduh dan memfitnah tanpa bukti?”
Tiba-tiba terdengar suara merdu nyaring, “Aku di sini, kakek jahat. Apakah kau hendak menyangkal lagi?” Dan dari sebelah dalam ruangan berlarilah Liu Hwee bersama Bu Sin, menuju ke pekarangan itu.
Kiranya tadi ketika It-gan Kai-ong muncul, Liu Hwee cepat mencari Bu Sin dan memberi isyarat kepada pemuda ini untuk menyembunyikan diri, menanti saat baik untuk muncul membantu paman gurunya membuka rahasia It-gan Kai-ong. Melihat munculnya gadis itu, bukan main kaget dan herannya It-gan Kai-ong sehingga ia berdiri memandang dengan mulut bengong.
Tiba-tiba kakek pengemis itu tertawa terkekeh-kekeh. “Ho-ho-ho, sama sekali tidak ada hubungannya! Nona ini kutahan karena memang dia berani menyerang teman-temanku. Tentang meracuni utusan Sung, ha-ha-ha, orang Beng-kauw, apakah kau sudah mabuk? Aku orang dari Kerajaan Wu-yue yang selalu menjadi sahabat Sung sejak dahulu, malah aku pun sudah banyak membantu Kerajaan Sung. Mana mungkin aku berusaha mengganggu utusan Sung? Harap saudara-saudara utusan Kerajaan Sung memberi penjelasan!” Matanya yang hanya sebuah itu mencari-cari di antara tamu.
Dua orang panglima dari Kerajaan Sung melompat ke depan. Mereka ini adalah perwira tinggi Ouwyang Swan dan pembantunya, Tan Hun. Ouwyang Swan sejenak memandang ke arah It-gan Kai-ong, kemudian menghadapi Kauw Bian Cinjin sambil berkata.
“Cinjin, memang ada usaha untuk meracuni kami. Akan tetapi kami dapat memastikan bahwa bukan It-gan Kai-ong yang melakukannya, juga kami tak dapat menduga beliau mencampuri urusan busuk ini, karena beliau adalah sahabat baik kami. Terus terang saja, secara diam-diam It-gan Kai-ong malah ikut mengawasi dan melindungi barang sumbangan kami, dari utara ke sini.”
It-gan Kai-ong tertawa lagi terbahak-bahak. “Ho-ho-ho, bukankah jelas sekarang bahwa Beng-kauw memfitnah orang? Siapa tidak mengerti akan akal busuk ini? Ho-ho, bagi orang yang otaknya beku, tentu saja mudah dikelabui dan mengira Beng-kauw merupakan tuan rumah yang paling bersih dan baik. Akan tetapi sebetulnya semua telah diatur! Siapa tidak tahu bahwa kehilangan emas permata sumbangan Kerajaan Sung itu sebetulnya dilakukan oleh orang-orang Beng-kauw sendiri? Semua sudah mendengar tentang peti mati yang berisi mayat orang Beng-kauw sendiri, keributan yang terjadi di rumah pemondokan utusan Hou-han. Dua orang Beng-kauw, kabarnya bernama Su Ban Ki dan Ciu Kang, dibunuh oleh peti mati hidup! Ho-ho-ho, siapa lagi si peti mati hidup kalau bukan si iblis Cui-beng-kui (Iblis Pengejar Roh)? Dan sudah lama dunia kang-ouw menduga bahwa Cui-beng-kui adalah orang Beng-kauw! Kemudian terdengar lagi dua orang pelayan yang melayani utusan Sung berusaha meracuni para tamu dari Sung, juga terbunuh mati oleh Kauw Bian Cinjin sendiri. Apa artinya ini semua? Bukan lain karena semua itu adalah akal busuk orang-orang Beng-kauw sendiri yang diatur oleh Kauw Bian Cinjin!”
Hening di situ setelah mendengar ucapan panjang lebar ini. Hebat, pikir para tamu. Keadaan diputar balik, kalau tadi It-gan Kai-ong dituduh, sekarang si kakek mata satu berbalik menjadi penuduh dan menimpakan semua kesalahan kepada Beng-kauw. Suasana menjadi tegang sekali dan kini semua mata ditujukan kepada Kauw Bian Cinjin untuk mendengar apa yang akan menjadi jawaban wakil ketua Beng-kauw itu.
“It-gan Kai-ong, tidak percuma kau dijuluki seorang di antara Thian-te Liok-koai!” jawab Kauw Bian Cinjin. “Akan tetapi semua omonganmu hanya pemutar-balikan fakta belaka, tanpa dasar dan bukti...”
“Ho-ho-ho, dengar baik-baik, Kauw Bian Cinjin! Kau menuduh yang bukan-bukan kepada para tamu yang jauh-jauh datang untuk menyampaikan hormat. Kalau memang semua ini bukan buatan Beng-kauw sendiri, mengapa semua orang yang bersalah dibunuh? Coba yang mencuri barang sumbangan, yang menaruh racun pada makanan, tidak dibunuh, tentu mereka dapat dipaksa mengaku siapa yang berdiri di balik ini semua! Tapi Cui-beng-kui serta-merta membunuh dua orang murid Beng-kauw, dan kau sendiri membunuh dua orang pelayan. Terang sekali kau memang sengaja mengatur ini untuk mengadu domba para utusan agar negara-negara dan kerajaan-kerajaan saling bermusuhan. Kalau kerajaan-kerajaan lain bermusuhan dan lemah, tentu Beng-kauw akan menjagoi dunia! Siapa tidak tahu akan akal busukmu?”
Para tamu menjadi ribut saling bicara sendiri ketika mendengar ucapan ini, ada yang membenarkan It-gan Kai-ong ada pula yang menentangnya. Agaknya Kauw Bian Cinjin yang pendiam dan tenang itu kalah bicara oleh si raja pengemis.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian sastrawan, bertubuh tinggi tegap bermuka tampan, telah berada di situ dan berkata. “It-gan Kai-ong, di mana-mana kau menimbulkan keributan belaka! Kepada orang lain kau boleh memutar lidah, akan tetapi kepadaku tidak mungkin! Aku sudah mengenal isi perutmu!”
“Suling Emas, kau mau apa? Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Ataukah sekarang pendekar gagah perkasa Suling Emas telah menjadi kaki tangan Beng-kauw pula?” ejek It-gan Kai-ong.
Toat-beng Koai-jin mengeluarkan suara menggereng ketika melihat campur tangannya Suling Emas sambil berkata, “Suling Emas masih ada perhitungan denganku!”
Suling Emas tidak mempedulikan kakek telanjang berpunuk, juga tidak pedulikan ejekan It-gan Kai-ong, melainkan ia memandang ke arah para tamu yang kini sudah memenuhi tempat itu sambil berkata, “Cu-wi sekalian sudah mengenal akan watak jahat iblis ini, maka harap jangan mempercaya ocehannya. Pada hakekatnya, dia diperalat oleh muridnya yang bernama Suma Boan. Siapa tidak mengenal putera pangeran ini di Kerajaan Sung? Suma Boan itulah, dengan bantuan gurunya ini, berusaha menggunakan akal untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan dengan Kerajaan Sung agar Kerajaan Sung menjadi lemah dan dia berkesempatan merebut tahta kerajaan. Siauwte (aku) mempunyai hubungan baik dengan panglima-panglima Sung, tahu benar akan keadaan di sana dan sudah lama aku mengawas-awasi jejak guru dan murid pengkhianat ini....”
“Suling Emas, tutup mulutmu! Kalau kau hendak mencari perkara denganku, tak perlu di sini. Kau ini seorang jantan atau seorang perempuan bawel? Ataukah kau sudah diperalat pula oleh Beng-kauw? Ho-ho, agaknya ada sesuatu rahasia di antara kau dan Beng-kauw! Majulah, jangan kira aku takut terhadapmu!”
“Kau tadi bilang, bukan di sini tempat kita bertanding. Mari kita pilih tempat yang sunyi, jangan di tempat suci ini.”
“Tempat suci? Beng-kauw suci? Ho-ho-ho, siapa tidak tahu akan rahasia Beng-kauw yang kotor?” It-gan Kai-ong yang kini merasa terdesak sengaja hendak merendahkan Beng-kauw agar para tamu lebih percaya kepadanya. “Siapa tidak mendengar akan keganasan mendiang Pat-jiu Sin-ong? Siapa pula tidak mendengar sepak terjang puterinya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian? Ha-ha-ha, setan cilik yang cantik itu, yang menjatuhkan hati banyak laki-laki yang jahat seperti setan berbisa....”
Tiba-tiba semua orang terkejut karena secara mengherankan sekali, dari dalam ruangan itu terdengar suara melengking tinggi, disusul dengan munculnya sebuah peti mati yang berloncat-loncatan, berguling-gulingan secara cepat dan aneh ke tempat itu. Sambil bergerak meloncat-loncat, peti mati ini mengeluarkan bunyi melengking tinggi menyedihkan, namun yang membuat banyak tamu yang kurang tinggi kepandaiannya, roboh lemas di atas tanah. Suara itu seakan-akan menusuk hati mereka dan melumpuhkan kedua kaki, hanya mereka yang sinkang­nya sudah kuat, cepat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi jantung dan menahan getaran yang melumpuhkan ini.
“Cui-beng-kui... ho-ho-ho, akhirnya kau muncul juga!” It-gan Kai-ong sambil tertawa-tawa girang. “Nah, sekarang yang hadir semua dapat menyaksikan bahwa Beng-kauw adalah tempat sembunyi Cui-beng-kui. Apakah ini bukan menjadi tanda benarnya dugaanku tadi?”
Peti mati itu kini terletak di pekarangan, empat meter jauhnya dari It-gan Kai-ong. Suara melengking berhenti dan diganti suara yang agaknya terdengar dari dunia lain, bergema menyeramkan. “It-gan Kai-ong manusia sombong! Mulut kotormu menyinggung-nyinggung nama wanita yang semulianya di dunia ini, tak mungkin aku mendiamkannya begitu saja. It-gan Kai-ong, hari ini adalah hari kematianmu, bersiaplah!”
It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Enam Iblis, tentu saja ia sama sekali tidak gentar menghadapi ucapan ini. Malah ia tertawa terpingkal-pingkal, menotok-notokkan tongkatnya ke tanah, lalu berkata sambil meludah. “Cui-beng-kui, bukan aku yang akan mati, akan tetapi peti matimu kini betul-betul akan terisi mayat. Cuh-cuh-cuh!” Tiga kali ia meludah ke arah peti mati, akan tetapi tiga kali pula ludahnya menyeleweng, tidak mengenai peti mati melainkan mengenai tanah yang berlubang-lubang oleh air ludahnya.
“Krrriiiiittttt!” tutup peti mati terbuka perlahan dari dalam.
Semua tamu, terutama yang muda-muda dan bukan jago kawakan menjadi pucat memandang ke arah peti mati. Juga para jagoan tua yang sudah lama mendengar nama Cui-beng-kui memandang penuh perhatian, hati mereka tegang. Selamanya belum pernah iblis ini keluar dari peti mati, selalu kalau ‘beraksi’ tentu dari peti matinya. Sekarang peti mati terbuka, Cui-beng-kui akan tampak wujudnya, siapa yang tidak akan tegang hatinya. Bahkan para tokoh Beng-kauw sendiri menjadi tegang, memandang penuh perhatian. Munculnya Cui-beng-kui ini tadi saja sudah mengherankan hati para pimpinan Beng-kauw dan juga kaisar sendiri, karena hal ini tidak mereka duga-duga. Selama ini sepak terjang Cui-beng-kui penuh rahasia dan tak ada yang tahu di mana ia bersembunyi.
Tutup peti mati terbuka makin lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi. Mula-mula tampak sebuah lengan yang kurus dan berkulit putih pucat penuh keriput, dengan kuku-kuku jari tangan yang panjang-panjang. Lengan ini menutup peti, terus menyangga ke atas sehingga tutup itu akhirnya terbuka semua. Semua mata memandang, leher memanjang dan... sesosok tubuh yang tinggi kurus bangkit dari dalam peti mati! Bagi penonton yang kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan cukup membuat ia roboh pingsan saking ngeri dan takutnya.
Cui-beng-kui kiranya seorang laki-laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka mayat, pakaiannya putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh, dari lutut sampai ke leher, kaki dan lengannya telanjang dan kurus sekali seperti tampak tulang-tulangnya membayang di balik kulit keriput dan tipis. Seperti juga kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga panjang, runcing melengkung.
Yang menarik adalah sikap Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat berdiri, mata terbelalak dan muka berubah.
“Kau... Thai Kun...!” seru Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.
“Ma-ciangkun (Panglima) Ma...!” Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.
Manusia yang seperti mayat hidup itu hanya memutar tubuh menghadap ke arah kaisar dan ketua Beng-kauw lalu mengangguk sedikit, tak acuh. Sekarang terbukalah rahasia Iblis Pengejar Roh (Cui-beng-kui) ini, dan mengertilah orang-orang Beng-kauw akan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh iblis ini secara mengerikan. Kiranya iblis ini adalah Ma Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu dari Kerajaan Nan-cao, seorang yang memiliki kepandaian tinggi karena masih terhitung adik seperguruan sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo!
Panglima she Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah seorang di antara banyak pria yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, puteri dari suheng-nya sendiri. Setelah Liu Lu Sian memilih Kam Si Ek Jenderal Kerajaan Hou-han, maka panglima ini lalu menghilang dan tak seorang pun tahu di mana ia berada. Siapa nyana sekarang panglima itu muncul kembali dalam keadaan yang begitu mengerikan, dan kiranya Cui-beng-kui, seorang di antara Enam Iblis itu adalah bekas panglima ini.
Kauw Bian Cinjin yang mengepalai penyelidikannya dan tentu saja tahu pula akan kematian Su Ban Ki dan Ciu Kang, kematian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati hidup yang ia duga tentulah Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui mencampuri urusan ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa biar pun Ma Thai Kun kini sudah berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.
“Ma-suheng, biarkan siauwte menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin.
Ia terhitung adik seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah empat orang saudara seperguruan. Yang pertama adalah mendiang Liu Gan, kedua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo yang masih adik kandung Liu Gan, ketiga adalah Ma Thai Kun dan keempat Kauw Bian Cin­jin. Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya sehingga jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian Cinjin meragukan apakah suheng-nya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun kepandaiannya masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah tingkatnya.
“Mundurlah!” Cui-beng-kui mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan Kai-ong. “Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”
It-gan Kai-ong tertawa bergelak, “Ho­ho-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa bobroknya moral orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh Kauw Bian Cinjin, berarti kau juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agaknya kau pun tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”
“Majulah jembel busuk. Hendak kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar dengan aku!” kata mayat hidup itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis yang melompat keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar kuning telanjang di tangannya. “Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah pembalasanku!” Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah, Lin Lin melompati kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan menghadapi Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan kanannya menggetar.
“Kau siapa? Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”
“Iblis busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan, bukankah kau pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan seorang tamunya setahun yang lalu di Ting-chun?”
“Ho-ho, heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil merenggut Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil mundur. “Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat membereskan setan cilik ini, Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”
Muka yang pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin, membuat gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat akan pengalamannya di dalam ruangan peti mati yang menyeramkan. Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin memasuki ruangan peti mati melalui terowongan rahasia, ia melihat peti mati yang mendadak dapat ‘hidup’ sehingga ia roboh pingsan, lalu ia telah dimasukkan ke dalam sebuah peti mati kosong oleh Cui-beng-kui!
Untung tidak lama Lin Lin pingsan di dalam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat yang gelap gulita sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan sendiri pun tidak tampak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia akan pengalamannya tadi. Hatinya berdebar. Iblis dalam peti mati itu! Sekarang ia pun berada di dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan dimasukkan peti mati.
Dengan menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat sinar terang, akan tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat seorang laki-laki gundul, sebetulnya tak patut disebut orang laki-laki, melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di mana ia rebah. Muka itu pucat tak berdarah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua ujung bibir tertarik ke bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.....
Lanjut ke jilid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Asmaraman Sukowati, Penulis Cerita Silat Kho Ping Hoo

SULING EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL BU KEK SIANSU)